18

544 62 2
                                    

Berdiam diri kamar sambil memetik senar gitar memainkan melodi yang mewakilkan perasaan yang kini diombang-ambing tanpa tujuan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Berdiam diri kamar sambil memetik senar gitar memainkan melodi yang mewakilkan perasaan yang kini diombang-ambing tanpa tujuan. Gerimis kembali membasahi Jakarta mengiringi kristal bening yang masih enggan berhenti di mata Sherly. Hanya dengan cara ini dia merasa lebih baik saat hatinya dirundung gelisah juga rasa benci Eveline padanya yang sudah bertahun-tahun lalu. Bayangan saat Sarah dilabrak dan dipermalukan sampai dipecat dari pekerjaan terlintas di benak Sherly. Dari sanalah gumpalan kebencian yang berakar ke setiap pembuluh darahnya hingga sekarang. Satu kesalahan yang dibuat Sarah berdampak pada kehidupan percintaan gadis berambut panjang itu. 

Dia tidak percaya cinta. Dia juga tidak percaya adanya komitmen yang diikrarkan sepasang manusia di depan semesta jika pada akhirnya janji yang lebih pantas disebut omong kosong itu pecah. Oleh sebab itu, Sherly melampiaskan rasa bencinya pada lelaki di luar sana dengan memainkan perasaan mereka kemudian mencampakkan. Sherly merasa puas jika sudah mematahkan banyak hati lelaki agar mereka tahu bahwa dipermainkan seseorang itu tidak menyenangkan. 

Sama seperti Gatot.

Dulu Sherly begitu bodoh atas kebaikan Gatot yang mau membiayai sekolahnya sejak SMP sampai kuliah. Pernah satu kali dia menaruh curiga tapi lelaki bajingan itu berkata kalau ibu Sherly sudah banyak membantunya. Sesuatu yang dikutip dalam otak Sherly kecil yang baru dipahami setelah Eveline memaki Sarah. Sampai ada anggapan kalau Sarah sudah memuaskan Gatot sampai lelaki itu mau menggelontorkan uang untuk janda beranak dua. Tidak hanya Sherly yang murka, kakaknya Barra pun sama. Oleh karenanya, dia langsung merantau ke ujung Indonesia untuk membuktikan bahwa tidak perlu menjadi pelacur agar bisa mendapatkan uang.  

"Lo ninggalin gue di sini sendirian sama Mama, Bang? Tega ya lo!" seru Sherly usai dia wisuda bersamaan abangnya diterima di perusahaan pertambangan emas di Papua. 

"Kalau lo mau pergi, pergi aja. Mama lebih bisa jaga diri dibanding kita, gue udah muak!" 

"Gue ke mana, Bang? Gue bingung," keluh Sherly sesenggukan. 

Sherly memeluk gitar untuk mencari ketegaran, air matanya makin berlinang memaki diri mengapa begitu buta tak mengetahui siapa Gatot dan malah menjalin asmara dengan anaknya. Dia menyesal kenapa dulu tak menyadari bahwa nama belakang Eric sama seperti nama ayahnya. Menyayangkan kenapa pula tidak kepo soal latar belakang Eric malah terlena dalam pesona mantan kekasihnya itu. Eric juga tidak pernah menceritakan tentang keluarganya kepada Sherly karena beranggapan kalau kekayaan yang dia punya bukan miliknya sendiri. Dia hanya mengatakan kalau punya dua adik kembar dan ibu seorang dokter, itu saja. 

Bukankah semua ini terasa pelik? pikir Sherly. 

"Apa dulu gue terlalu bucin sama dia?" gumam Sherly.

Setelah wisuda dan melihat kedua orang tua Eric termasuk Gatot hadir dalam acara besar itu, barulah Sherly paham betapa bajingannya keluarga Prasaja. Bahkan saat Eric akhirnya memperkenalkan mereka pertama kali kepada Sherly, Gatot dan Eveline berpura-pura tidak mengingat gadis berkebaya cokelat itu adalah anak dari perempuan yang sudah meretakkan rumah tangga mereka. Sherly memicingkan mata berlagak tak sopan saat Gatot mengulurkan tangan dan memilih pergi begitu saja. Hingga akhirnya, Sherly pergi ke Surabaya atas saran Barra menghilangkan diri di sana. 

Sekarang, ketika Eveline tahu kalau Sherly sudah kembali ke Jakarta entah apa yang akan terjadi nanti. Dia tidak ingin masalah yang sudah berlalu diungkit kembali yang bisa saja menjadi lebih buruk daripada lima tahun lalu. 

"Apa gue kudu menghilang lagi?"

###

Eric menekan pedal mobilnya melaju kencang menuju kawasan elite di Pantai Indah Kapuk melalui tol Pluit Tomang. Melesat melawan angin hingga jarum di speedometer mengarah ke angka 110 km/jam yang bisa saja membahayakan nyawa. Isi kepalanya dipenuhi bagaimana caranya Eric bisa sampai di rumah dan bertemu Eveline. Padahal  jika malam minggu berhasil hari ini, rencananya baru besok dia pulang ke rumah dan menginap ke sana sehari. Namun, semua berubah setelah ada satu rahasia besar yang tidak pernah dia tahu. 

Tangan kirinya memukul kemudi merasa geram menyadari bahwa selama ini Eric dianggap tidak ada oleh Sherly maupun Eveline. Itu adalah hal yang paling dibenci Eric seumur hidup. Begitu sulitkah meminta pendapat atau menceritakan masalah yang menerpa kepadanya? Masih kurangkah loyalitas yang diberikan Eric sebagai anak Eveline hingga sang ibu juga menutupi masalah ini?

Hampir satu jam mobil Pajero sport yang dikendarai Eric bisa sampai di rumah berpagar tinggi dengan cat putih gading dengan pilar-pilar yang menjulang tinggi bak istana. Pohon palem yang menghiasi latar depan rumah itu seakan turut menyembunyikan retakan yang sudah terjadi di dalam keluarganya. Begitu mesin mobil mati, Eric keluar dan membanting pintu mobilnya tak sabar meluapkan kemarahan yang sudah berada di ubun-ubun.

Pintu terbuka menampakkan Eveline tengah duduk menikmati siaran televisi dengan pandangan kosong. Wanita yang setia dengan rambut pendeknya berpaling dan berdiri menyambut putra kesayangan seraya merentangkan kedua tangan. Eric enggan untuk berbasa-basi, dia duduk agak berjauhan tanpa memeluk sang ibu yang dilanda kerinduan, melenyapkan senyum sumringah di bibir Eveline. Padahal saat ini Eveline sangat membutuhkan dukungan moral yang menguatkan hati setelah ditimpa kasus yang melibatkan Gatot. 

"Sebenarnya apa yang disembunyikan Mami?" tanya Eric tegas namun terkesan mengintimidasi. "Kenapa Mami malah marah waktu Eric sebut nama Sherly?"

Sudut bibir Eveline terangkat, raut wajah yang tidak menunjukkan penuaan sesuai usianya langsung berubah dingin. Mengingat masa kelam itu, luka di hati Eveline mencuat dan terasa pedih walau kejadian itu sudah lama. Walau sudah bisa memaafkan belakangan ini, memori dalam kepala sang dokter bedah saraf itu tidak bisa lupa begitu saja. Apalagi reputasinya sebagai istri direktur tidak boleh pecah begitu saja hanya karena satu rayap yang menggerogoti bahtera rumah tangga Eveline. Seburuk apa pun kelakuan Gatot, dia tetap berusaha mempertahankan fondasi yang sudah dibangun hampir dua puluh tahun lamanya. Selain itu, cukuplah Eveline yang tahu kebobrokan ayah anak-anak mereka daripada harus dilabeli anak tukang selingkuh. 

"Mami hanya enggak suka sama Sherly," jawab Eveline meyakinkan. 

"Hanya?" Eric mengerutkan kening tak mengerti. "Itu alasan konyol yang Eric dengar."

"Apa Mami harus setuju atas semua yang kamu inginkan?" Eveline ikut emosi.

"Eric cuma pengen Mami anggap Eric ada!" gertak Eric. "Ini yang bikin Eric enggak betah di rumah! Mami sama Papi enggak pernah percaya sama yang Eric lakukan! Eric bukan anak-anak, Eric sudah dewasa buat tahu apa yang sebenarnya terjadi!"

"Ck, dewasa? Dengan emosi kamu yang meledak seperti itu?" Eveline melotot dengan suara meninggi memenuhi ruang tamu mewah di sana.

"Gimana enggak marah kalau Eric dibodohi kayak gini? Eric sekarang paham kenapa Sherly dulu menghilang. Itu karena Mami kan?" tuduh Eric menunjuk ibunya lantang. 

"Jaga bicara kamu, Eric!" hardik Eveline seraya berdiri. "Kalau kamu datang cuma marah-marah enggak jelas lebih baik pergi!" tunjuknya ke arah pintu di belakang Eric. 

"Baik, Eric bakal cari tahu sendiri!" ancam Eric lalu beranjak dan berbalik meninggalkan rumah yang tak lagi menjadi rumah baginya. 

Dia sengaja menjatuhkan vas bunga hingga pecah berkeping-keping, Eveline menjerit kemudian memaki anaknya yang sudah kelewatan. Eric tidak memedulikan panggilan itu, dadanya sudah terlanjur sakit hati betapa ibu yang dihormatinya sampai mati justru tidak menaruh kepercayaan padanya. Eric menyalakan kembali mesin mobil meluncur menuju suatu tempat untuk menenangkan diri.

Hard Desire (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang