Part 15

21 25 0
                                        

BAB VII MENDEKATINYA


Jam istirahat. Aris sedang berada di kantin. Aldi sudah duduk disampingnya dan nampak fokus menyantap mie instannya. Aris masih memainkan nasi gorengnya. Belum banyak ia menyantap makanannya, ia sudah meminum es jeruknya seakan sedang tidak selera makan.

"Oi, berdua aja kaya biji?" Rifqi datang dan langsung duduk di tengah-tengah sehingga memisahkan Aldi dan Aris.

"Paan sih kamu Rif. Biji apa?" Aris seakan merasa terganggu dengan kedatangan Rifqi.

"Biji mata kali," Aldi tersenyum.

"Haduh lawak jiga nih anak. Bi aku pesan nasi lengko sama es jeruk," Rifqi seakan tidak ingin menanggapi jokes gabut dari Aldi.

"Oi... Aldi lagi nge jokes tuh," Aris menepuk pundak Rifqi.

"Dah biarin aja."

"Bjier pada tega dah sama gua," Aldi memakan mienya semakin lahap seolah sedang benar-benar kesal.

Tidak begitu lama pesanan datang. Aris masih memainkan es jeruknya. Aldi sudah kembali fokus dengan mienya. Semuanya seperti biasa seolah tidak terjadi apapun. Aris perlahan mulai kembali menyantap makanannya.

"Ris tuh. Ada Dini," setengah berbisik dan menunjuk ke arah koperasi.

"Udah deh Rif. Jangan mulai. Banyak orang nih. Malu aku."

"Yeh beneran. Gua gak bokis. Noh lo liat sendiri dah," Rifqi menengokan kepala Aris ke arah Dini berada.

Aris kini sudah menghadap ke arah Dini. Kali ini Rifqi sedang tidak rese. Itu benar-benar Dini. Ia sedang bersandar di samping koperasi sambil memainkan handphonenya. Di temani seorang lelaki. Awalnya Aris senang melihat Dini. Entah mengapa Aris sedikit emosi melihat ada lelaki lain yang dekat dengannya.

"Bjier. Tuh cowok siapa sih?" tanya Aris sedikit bisik-bisik.

"Kenapa? Cemburu ya lo?"

"Aku nanya serius malah kamu bercandain."

"Tapi omongan gua ada benernya kan?" Rifqi senyum dengan ekpresi tengil.

"Dah lah aku gak jadi nanya."

"Dih. Laki kok baperan. Itu temen gua juga. Dini, gua sama tuh cowok-cowokan sekelas."

"Bukan pacarnya kan?"

"Nah lo. Kepo kan lo?"

"Ia kepo nih. Rifqi temen ku yang paling ganteng... bisa kasih tau kan?" Aris memasang senyuman psikopat.

"Oke-oke. Setau gua sih gak ada."

"Kalian ngomongin apa sih? Bisik-bisik mulu?" Aldi tiba-tiba merangkulnya dari belakang.

"Astagfir," keduanya spontan kaget.

"Ngapasin sih. Bisik-bisik berdua. Udah kaya biji aja?" tanya Aldi.

"Biji mata loe. Kaget gua," Rifqi lumayan kesal karena kagetnya bukan sekedar gimick.

"Ia nih ngangetin aja."

"Yhahahaha. Sory, ngapain sih?" tanya Aldi masih penasaran.

"Kepo. Dah lanjut makan," Aris mencoba mengalihkan topik.

"Lah?" Aldi mulai curiga dengan apa yang disembunyikan keduanya.

"Dah lanjut makan," Rifqi juga melanjutkan memakan makanannya seolah semuanya baik-baik saja.

Akhirnya perlahan semuanya seakan melupakan masalah barusan. Rifqi mencoba kembali tenang agar tidak memancing perhatian Aldi. Rifqi hanya ingin menghormati keputusan Aris untuk merahasiakan masalah tersebut.

Jam pulang sekolah. Aris masih memakai sepeda waktu itu. Jarak dari rumahnya ke sekolah memang cukup jauh, namun masih bisa di tempuh dengan memakai sepeda. Aris selalu pulang berkelompok dengan teman-temannya.

"Ris..."

"Apa Rif?"

"Yeh... tungguin gua dulu napa."

"Ya-iya. Ayo dah buruan," Aris berbalik dan menunggu Rifqi yang setengah berlari menghampirinya.

"Lo gak sadar?"

"Apaan?"

"Itu depan lo kan Dita."

"Owh itu..."

"Lah gitu doang?"

"Terus mau gimana? Orang aku dah tau kok."

"Ya pepet lah. Mumpung sendirian."

"Aku masih nyari momen Rif."

"Hilih. Kelamaan lo. Dit, Dita..." Rifqi memanggil nama Dita yang memang ada di depannya.

"Rif. Akh lo, gak suka deh. Jangan gitu lah."

"Ehk, Rifqi ya?" Dita berbalik dan menyapa Rifqi dengan senyuman.

Rifqi melambaikan tangan sembari merangkul Aris. Aris hanya bisa menunduk sambil sesekali curi-curi pandang. Aris sempat melihat senyuman manis Dita. Ingin sekali saat itu Aris mengatakan perasaaannya. Bahwa ia selama ini menyukai Dita. Bukan sekedar suka melainkan cinta.

Aris tetap tak bisa melakukannya. Lidahnya kelu, badannya kaku, tak hentinya tangan bergetar. Kakinya lemah seakan sudah tak kuat untuk dipakai berjalan. Jangankan mengajaknya bicara, menatap wajahnya pun Aris sudah pucat pasi. Mungkin anak jaman now menyebutnya salting.

Dita masih melambaikan tangan. Kini Aris semakin memberanikan diri untuk menatap wajah Dita. Dita masih tersenyum dengan gestur anggunnya. Aris sedikit mencoba tersenyum. Aris sangat terpukau. Senyuman Dita memang selalu menjadi sesuatu. Entah mengapa senyum Aris semakin lebar dan seakan terhipnotis oleh senyuman Dita.

"Eh. Gua duluan ya," Dita melambaikan tangan sambil kembali berjalan mengejar sahabatnya.

"Owh ia Dit. Hati-hati ya," Rifqi setengah berteriak karena jarak.

Aris baru berani melambaikan tangan setelah Dita berbalik. Aris juga mulai berani berkata-kata. Namun Dita sudah jauh meninggalkannya. Apapun yang di katakan Aris tentu saja Dita tidak akan bisa mendengarnya.

"Hati-hati Dit. Kamu cantik banget sih," Aris masih dadah-dadah.

"Ah elo. Tadi diem aja. Giliran pergi baru deh."

"Paan sih. Dahlah, kebiasaan buruk kamu kumat Rif."

"Yeh, gua kan niatnya bantuin lo PDKT. Bukannya makasih."

"Ia makasih. Dah ya... kelamaan ngobrol kapan pulangnya," Aris memasang wajah datar.

"Yeh dasar bocah. Gitu tuh kalo lagi jatuh cinta. Susah emang kalo cinta pertama mah. Skill masih noob."

"Rif ayo buruan pulang. Ngedumel terus kamu kayak neneknya mantan," Aris setengah berteriak dan tetap berlalu meninggalkan Rifqi.

***

FIRST LOVE - MEMORY OF YOUWhere stories live. Discover now