32. PULAU SILENTIUM

624 98 2
                                    

"Kalian yakin tidak mau bermalam dulu di sini? Dengan senang hati, aku akan mengizinkan kalian menginap di rumahku," tawar Guir tulus.

Valerio menggeleng pelan, "Kami sangat ingin, tapi waktu tidak mengizinkan kami. Jika suatu hari nanti sang waktu merestui kami untuk datang ke sini lagi, kami berjanji jika rumahmu yang akan kami kunjungi pertama kali."

Guir tersenyum manis sambil menyeka anak rambutnya. "Semoga kalian selamat."

Menurut peta, prediksi keberadaan Pulau Silentium berjarak 25 kilometer dari Pulau Mirip. Sebenarnya, Pulau Silentium sama sekali tidak tertera dalam peta, tetapi dilabeli warna hitam. Raja Vyn dan Perdana Menteri Anantha sangat yakin bila label hitam itu merupakan Pulau Silentium karena hanya tempat itu satu-satunya yang beri tanda hitam, yang artinya wilayah terlarang.

"Balon udara sudah siap." Henrick memberi tahu.

"Ayo, Valerio," ajak Stella kepada Valerio yang masih terpaku di depan Guir.

Keempat kesatria itu memulai lagi perjalanannya. Sayang sekali, mereka tidak bisa berwisata kecil di Pulau Mirip.

---oOo---

"Berapa Pulau Silentium ditiadakan dari peta?" Stella mencomot topik untuk menepis keheningan.

Henrick mengangkat kedua bahunya, "Entahlah, mungkin selamanya atau hanya sampai Penyihir Sinorifada terbunuh."

"Kamu mungkin tidak akan percaya, Stella. Sebelum Penyihir Sinorifada dicampakkan ke Pulau Silentium, pulau tersebut merupakan tempat bersejarah. Tempat itu juga bebas dikunjungi siapa saja untuk melihat berbagai prasasti dan candi-candi kuno. Namun, semua itu kini tinggal kenangan. Pulau Silentium dikuasai Penyihir Sinorifada dan menjadi tempat terlarang."

Stella mengangguk paham. Sayang sekali, ia tidak bisa menikmati tempat itu. Stella memang datang, tetapi untuk berperang, bukan untuk bersenang-senang. Kedatangannya juga bukan untuk rekreasi, tetapi untuk bertarung dengan penuh ambisi.

Pemandangan langit siang yang dihias arsiran awan menjadi objek pandangan mata Stella saat ini. Balon udara terbang santai, sesekali angin membantunya bergerak. Tangan gadis itu menggenggam erat pinggiran keranjang balon udara. Tak lama kemudian, ada tangan lain yang bertengger di samping tangannya.

"Valerio, ada apa?"

"Bagaimana kondisimu?"

Gadis itu tersenyum semringah, "Sudah lebih baik setelah perutku terisi."

"Syukurlah." Pria itu ikut merasa lega.

Terkadang, Stella berdecak kagum di dalam hati mengenai kinerja Valerio dalam memperhatikan kondisi para mitranya. Bahkan, pria itu kadang tidak memperhatikan kondisinya sendiri.

"Oh ya, bolehkah aku mengambil waktu berjaga paling awal," aju Stella.

Valerio menoleh ke arah Stella, kemudian menggeleng pelan. "Kita akan sampai sebelum matahari terbenam."

"Kau yakin, Pangeran?" Entah kenapa, Henrick sedikit ragu dengan prediksi Valerio.

"Diusahakan saja."

---oOo---

"Pulau apa itu?" Stella menunjuk sebuah pulau terpencil yang tampak seram.

STELLA || The Future Holder of Zeros [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang