33. RATU SINORIFADA

615 100 7
                                    

Stella berjalan dengan gontai, mengekori Valerio dan Henrick. Jarak langkahnya terpaut lumayan jauh hingga kedua kesatria pria itu harus rentan menoleh ke belakang untuk memastikan Stella tidak tertinggal terlampau jauh.

Di depan sana, Valerio memang sedang menuntun arah untuknya. Namun, keadaan Stella seperti orang yang tersesat atau kehilangan arah. Kematian Valerie memuat duka yang amat dalam. Berkali-kali Stella menghela napas, berkali-kali juga rasa sesak menerpa. Linangan air matanya tak penat mengalir.

"Jangan khawatir, Stella. Kami semua ada bersamamu. Kami akan mengiringimu sampai akhir. Kami juga akan menepati janji bahwa kita akan pulang dalam keadaan lengkap."

Bahkan meski kakinya bergerak ke arah yang benar, pikiran Stella tetap berseliweran hingga menepi di bayang-bayang Valerie.

"Kamu bohong, Valerie. Perkataanmu omong kosong! Nyatanya kita tidak akan pulang dalam keadaan lengkap," gumam Stella pelan tetapi penuh penekanan.

Meski pelan, perkataannya tadi tetap terdengar oleh Valerio dan Henrick. Mereka terenyuh melihat kondisi Stella yang seperti orang putus asa. Apa mungkin benar dia putus asa?

"Rasakan ini, Valerie!"

"Akan kubalas!"

Bayang-bayang Valerie kembali bertengger di otaknya. Kali ini, yang muncul ialah memori di telaga kerajaan.

Stella kehilangan semangat. Stella kehilangan gairah bertarung. Stella juga kehilangan hasrat untuk menyelamatkan Zeros. Bahkan, gadis itu hilang kendali. Ia terlampau larut dalam duka.

Sampai-sampai, ia berhenti di tepi jurang yang sangat dalam. Jurang yang memanjang di sepanjang jalan yang mereka lewati. Stella kemudian menghadap ke jurang. Ia melayangkan tangannya dan menjinjitkan kakinya. Tak lama kemudian ....

Bruk!

Stella terjatuh. Tidak! bukan jatuh ke jurang, tetapi jatuh terjengkang ke tanah.

"Apa yang kamu lakukan?!" bentak Valerio terkejut dengan Stella yang nekat melompat ke jurang. Nasib baik ia buru-buru menarik gadis itu.

"Sadarlah, Kak! Bunuh diri bukan cara yang baik untuk bebas dari nestapa!"

Kepala Stella mendongak hingga air matanya mengalir ke samping. Tangisnya makin menjadi-jadi, ia ingin melampiaskan segala penderitaannya itu. Setidaknya, tidak ada kesedihan yang harus dipendam.

Henrick mendekap sang kakak dan membiarkan gadis itu menangis puas di dadanya. Ia bisa merasakan bagaimana hancurnya gadis itu.

"Takdirku kejam! Tuhan tidak adil!" ketus Stella di sela tangisnya.

"Mengalami pengasingan sejak bayi, orangtuaku diculik, dipaksa kuat demi menyelamatkan dunia, dan sekarang kehilangan sahabat yang sangat aku sayangi. Sekarang apalagi yang akan Tuhan ambil dariku, hah? Apakah gelarku? Kekuatanku, atau nyawaku? Ambil saja semuanya! Aku tidak peduli! Aku sudah hancur!"

Untuk kesekian kalinya, Stella merutuki takdir. Mengapa persahabatannya dengan Valerie terjalin singkat sekali? Satu bulan saja tidak ada!

"Aku mohon, Stella ... jangan seperti ini. Aku tau hatimu hancur berkeping-keping, tetapi arwah Valerie akan lebih sedih lagi jika melihatmu seperti ini," ucap Valerio. Ia tidak kuat lagi membendung air matanya. Sama seperti Stella, Valerio juga larut dalam duka.

STELLA || The Future Holder of Zeros [✔]Where stories live. Discover now