[H-29] Jeko. Hai

4.5K 141 1
                                    

Apa kalian tahu, kalau dunia Jeko itu berupa sikap yang kejam, ucapan yang jahat, cemoohan, hinaan bahkan kekerasan tanpa rasa bersalah. Dan setiap hari, dia suka rela membagi dunia itu padaku.

OoO

Di depan jalan sana, kulihat dirinya tersenyum kian nanar. Melambai bersama sayup-sayup kabut, terbungkam air yang menetes dari langit. Dia berdiri, tegap sembari tersenyum setipis waktu di penghujung senja.

"Janji untuk waktu 30 hari," mengabur suaranya, memelan lalu menghilang tertelan angin.

Aku melangkah menerjang kabut. Beriringan dengan air hujan yang berjatuhan ke bumi, kubiarkan juga dia jatuh dan menghempas pada tubuh ini. Sesekali kuseka tetesan itu agar tujuanku tak berakhir sia-sia.

Sayang sekali. Semua sudah terlambat.

Tuhan, sejahat inikah takdir yang terjerat dalam hidupku? Kenapa menjadikan sakit untuk cerita paling akhir dari kisahku?

Samar-samar kudengar dirinya memanggil. 'Ula' yang berhasil membuat tengkukku meremang. Untuk ke sekian kali dia memanggil di bawah sana, padahal jantung laki-laki yang tergeletak itu tak lagi berdetak, dari mana asal suaranya?

"Ula."

Sekarang nyaris memekik di balik telingaku. Bergeser tubuh ini sejengkal lebih jauh, berbalik hingga menghadang pada Jeko yang sudah mati.

"Gue mau lo. 30 hari aja."

Aku berlari tunggang langgang. Tak peduli deras hujan, tak peduli ramai jalanan. Bayangkan saja melihat hantu siang bolong, apa lagi hantu kekasih sendiri. Awal yang bagus untuk memulai tawa singkat meski hatiku terasa diiris belati saat Jeko mati tertabrak.

Tas sandang di punggung terhempas ke sana ke mari seiring kencang langkah kaki. Aku tak lagi peduli dengan sekitar. Degup jantung berlomba naik bahkan sesak mulai datang.

Tapi... Suara bising membuat telingaku seakan tuli, sejurus setelah itu benda padat menerobos tubuh hingga membuatnya melayang ke udara beberapa detik, masih bisa kupastikan jika tinggiku tak akan dijangkau oleh orang super tinggi sekalipun, hingga berikutnya.

Brukk...

OoO

"Ula. Dia mati?"

"Gak, palingan patah tulang doang."

"Jeko mati. Kenapa dia ngikut sih?"

Aku mendengar pertanyaan-pertanyaan kurang hajar itu. Aku bahkan hapal suara orang-orang biadap itu. Tapi, kenapa mataku tak mau terbuka, tubuhku enggan bergerak bahkan terasa kaku.

"Dia belum mati!"

Aaa.. Rasanya pengen teriak saat mereka berbicara begitu jelas. Tapi kapan?

"Bangun Ula..."

Mataku memang tertutup, tapi siang dan malam seolah terasa, dari bisik hening atau sejuk yang datang. Semakin terlihat saat gelap menyerpa netra walau tak bisa kubuka nyalang. Sekilas cahaya terang lalu redup akan tertampak di dalam sana.

Janji 30 Hari [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang