[H-21] Hidup dalam Kekangan

411 41 1
                                    

Aku hidup karena harus hidup. Meski seperti ditenggelamkan ke laut dalam, keadaan sulit bernapas pun, pikiran harus tentang hidup.

OoO

Dari ribuan suara berisik yang pernah memenuhi ruang dalam telingaku, suaranya yang berhasil membuat otakku seolah pecah dan berserak. Satu nama yang selalu dia sebut, terkurung di dalam sini dan memberontak begitu saja.

"Alula."

Sekali lagi, dia memanggilnya sekali lagi dengan intonasi memelan, menyendu bahkan penuh teka-teki.

"Gue benci lihat muka lo. Bisa jauh-jauh enggak duduknya."

"Ini udah paling jauh, Ula."

"Lo duduk di sisi ranjang gue! Apa gak bisa lo pake bangku terus duduk di bawah?"

"Gue nurutin keinginan lo untuk putusin Greya..."

Dion memutar arah pandangannya, melirik bangku sejenak lalu membuang napas.

"Sekarang gue harus nurutin keinginan lo untuk duduk jauh-jauh?"

Aku mengangguk.

"Gak akan gue lakuin."

"Gue punya firasat gak enak tentang laki-laki ini. Dia seperti orang yang bermuka datar, tidak memiliki perasaan atau, gak punya emosi."

Dia benar. Mustahil orang normal tak mengetahui jika sudah bertatap muka dengan Dion. Sedikit banyaknya, cerita mereka selalu sama, Dion itu hanya tersenyum pada saat-saat tertentu, dia juga akan tertawa pada hal-hal yang penting. Sikapnya layak disebut kurang hajar, tak melihat situasi dan bergerak sesukanya. Hatinya, milik dia seorang.

Datar. Dingin. Irit bicara. Siapa sangka, aku mendengar lebih banyak dari mereka, aku tahu lebih baik daripada orang-orang yang berada dari jarak paling dekat dengannya. Karena, Dion memberiku satu celah memuakkan yang selalu membuatku membenci.

Celah di mana dia akan memperlihatkan pada orang-orang sepertiku. Aa, maksudnya. Orang menyedihkan ini.

"Tepati janji lo, Ula."

"Janji apa?" keningku mengernyit.

"Maaf, berikan gue maaf."

Cih. Dari tadi dia duduk di sini dan ingin berbicara denganku hanya untuk menagih janji bodoh itu. Menyebalkan.

"Seenggaknya lo punya pikiran untuk menanyakan keadaan gue, Dion. Menurut lo, dari siapa gue mengalami hal gila kek gini. Pacar lo!"

"Bukannya lo yang mau dibunuh olehnya?"

"Mantan pacar," dia menyela. "Gue beruntung datang lebih cepat sehingga lo selamat."

Dia? Apa maksud Dion, apa dia lagi yang datang menemuiku dan menolongku dari Greya, dia tahu situasi ini bahkan kejadian ini, dari mana?

Kualihkan pandangan pada Jeko, di sana dia hanya terdiam beku, tak lagi berucap, tak lagi berbicara banyak bahkan cerewet.

"Lo tahu dari siapa gue di sana?"

"Firasat."

"Jangan banyak bacot, goblok! Lo pikir gue bodoh!"

Lagi, dia memasang wajah yang dingin, tatapan datar bahkan ekspresi tak berarti.

"Lo udah membuat gue putus dengan orang yang gue cinta. Sekarang lo berteriak kurang mengenakan, bukannya ini keterlaluan, Ula?"

"Apa lo tahu apa itu cinta?"

Cup...

"Woi anjing. Ngapain lo! Brengsek! Biadap! Gak tahu sopan santun! Orang goblok! Manusia tak punya etika!

Mataku seketika terbelalak, semburan darah menerobos naik rasanya bertumbuk di dalam ubun-ubunku. Tubuh ini membeku, terdiam cukup lama bahkan tak bisa kugerakan. Napas, jangan ditanya, hembusannya bergeliya tak beraturan, setelah itu sesak mendominasi hingga seteguk air liur meluruh tanpa hambatan.

Apa yang terjadi baru saja, benda kenyal yang menempel hingga aku terbungkam. Bibir Dion mendekat lalu bersentuhan dengan bibirku, dia... Dia mengecupnya?

"L-lo gila!"

"Apa seperti itu disebut jatuh cinta?"

"L-LO GILA!"

Dion bangkit dari duduk, ia usap kasar wajahnya yang seketika memerah.

"Gue jatuh cinta sama lo, Ula. Kenapa lo terus berpura-pura," pekiknya lalu hening sesaat, "Gue pamit karena banyak pekerjaan di kantor. Cepat sembuh."

Senyap, sekitar ruangan yang hanya ada aku dan Jeko mulai sunyi.  Biasanya dia terus ngerocos, kali ini dia diam mematung, hebat.

"Jeko. Lo harus tutup mulut."

"Gue hantu, jangankan suara, tubuh gue aja gak ada yang liat."

"Jeko-"

"Gue gak merasa sakit hati. Kenapa ya?"

"Karena perasaan lo untuk gue bukan cinta. Sama persis seperti Dion, cinta itu hanya lima huruf tanpa arti."

OoO

Katanya lebih baik datang terlambat daripada tidak sama sekali. Ya, walaupun Jeko ada di sini denganku, tempat penginapan paling abadinya belum kudatangi sekali pun saat aku sudah terbangun dari tempat tidur karena kesempatan itu baru datang sekarang. Bahkan hari ini pun, aku berkunjung dengan arwahnya.

"Di dalam sana, sunyi gak Jeko? Gelap gak? Sesak-"

"Kenapa? Lo mau uji coba."

Merenung dalam diam belum tentu akan mendapatkan jawaban yang benar, apa lagi pasti. Selama hidup, aku selalu ingin mati dan pergi dari dunia ini, tapi nyatanya dunia tak ingin aku tinggalkan hingga kesakitanku masih berlanjut dari musim ke musim.

"Iya. Gue mau coba."

"Manusia gila!"

Dalam tunduk aku mendengar dia mendengus sedikit keras, kekesalan Jeko, amarah Jeko, serta ucapan sadisnya. Aku tak lagi merasa takut sebab, Jeko ini bukan Jeko yang lama.

"Coba ingat-ingat lagi Jeko. Selama lo hidup dan menjadi pacar gue, apa aja yang udah lo laukin sama gue, apa yang lo perbuat sama Giya bahkan orang-orang di sekolah."

"Kalau lo nyuruh gue mengingat hal-hal kek gitu, gue lebih baik gak ingat apa-apa sampai nanti perjanjian 30 hari kita berakhir."

"Perjanjian itu," aku menoleh padanya yang sedari tadi diam di samping kiriku. "Apa maksudnya?"

"Gak punya maksud tertentu. Gue cuma mau ketemu lo."

"Jeko-"

"Ayo ke tempat yang bagus, ajak gue ke sana."

Tempat yang bagus bersama Jeko. Lelucon apa yang baru saja aku dengar, di mana pun keinginanku pasti menjadi buruk jika menyangkut tentangnya. Namun, Jeko yang saat ini berani memberiku senyum, apakah rasanya akan berbeda.

Benarkah berbeda? Berapa lama pun aku berpikir, perbedaan tak akan bisa kutemukan dan tak akan pernah bisa.

"Gue gak punya tempat yang bisa gue kunjungi, gue gak memiliki seorang sahabat benar-benar sahabat yang bisa gue temui. Gue... Hanya ingin rumah, bukan saja menampung tapi senantiasa memeluk. Gue, cuma mau itu dan rasanya sulit sekali."

Aku hidup, karena harus hidup. Seperti sebuah paksaan, kekangan yang membuat tenggorokan ini terlilit erat, rasa sesak tak memberi jeda bahkan tak membuatku senantiasa bergerak. Ke mana aku hari ini? Siapa yang akan aku temui? Lalu bagaimana caranya berdamai dengan gelak tawa yang tak mengikutsertakan diriku di dalamnya?

"Gue gak bisa memeluk lo, Ula. Tapi gue bisa terus berada di samping lo selama 30 hari ke depan. Lo mau?"

OoO

Janji 30 Hari [END]Where stories live. Discover now