[H-6] Tangis Kehancuran

373 33 0
                                    

Entah sejak kapan kata bahagia yang kudengar seperti tusukan sebilah pisau yang menghunus jantungku.

OoO

Jika ada satu hari yang paling bahagia dalam hidupku, mungkin hari ini. Sebab, aku tertawa di bawah semburan ombak yang menari, aku berlari ke sana ke mari mengumpulkan sebongkah genangan asin lalu aku lemparkan pada dua laki-laki di sana, air dari genggamanku memang tak mengenai tubuh Jeko, tapi sebagian celana Fino telah basah.

"Alula. Sini lo! Mau gue tenggelamanin!"

Dari banyaknya pelarian selama hidup, baru kali ini aku melangkah tergesa sembari membawa gelak. Dulu, hanya ada tangis, hanya ada keresahan, hanya ada keterpurukan, hanya ada kabut hitam yang gelap. Sekarang terlihat semakin terang, sinar matahari seolah menyinari jalanku, dia seolah membimbing langkahku menjauh.

Tapi beberapa setelah tawaku terlihat..

"Alula. Ayo pulang."

Kakiku membeku di tanah, tubuh ini bergeming dan sudut bibirku bertaut sempurna. Tak perlu dua menit, tiga detik setelah panggilan terdengar tarikan kasar mulai kurasakan, aku tahu dia siapa.

"Bukannya tadi lo bilang mau belajar kelompok di rumah Dimea, di sini belajarnya?"

"D-dion. G-gue-"

"PULANG! Mau gue paksa lo untuk pulang."

Aku takut. Suara paling lirih di dalam hati kecil mulai berisik, terlebih saat Jeko dan Fino diam tanpa pergerakan. 'Fino, gue takut' andai saja dia seperti Jeko yang bisa mendengar isi pikiranku, apa dia akan bergerak maju seperti yang dilakukan Jeko saat ini, yang terus menarik cengkraman Dion tanpa bisa dia sentuh.

"Lepas bangsat! Alula takut gara-gara lo! Tangannya gemetar, anjing! Lepasin Alula!"

Aku takut. Fino aku takut.

"Ayo pulang," tarikan Dion terhenti bersama debaran dalam jantungku, jemari hangat yang memegang kuat di sisi sebelah kiri, aku menoleh padanya.

"Fino."

"Lepasin Alula. Saya yang bertanggung jawab tentangnya, bukan kamu!"

"Saya yang membawa Alula ke sini, maka saya juga yang akan membawanya pulang."

"Tak perlu!" Dion melepas pegangan yang tak ingin Fino lepas. "Tolong jangan ikut campur-"

"Anda bukan siapa-siapa, Alula juga bilang kalau Anda juga bukan calon suaminya. Jadi jangan memaksakan kehendak seperti ini atau Anda akan kena masalah."

"Kamu mengancam saya?"

"Bukan ancaman. Karena manusia normal juga bakalan tahu, kalau yang namanya salah, akan tetap salah!"

Perlahan tapi pasti, pegangan Dion merenggang. Tampak kedip sayu dari kedua matanya. Netra yang tak pernah mau aku tatap, netra yang tak akan bisa aku tatap. Terlalu mengerikan.

"Lo mau pulang dengannya?" Dion bertanya dengan intonasi memelan. Bibirku bergetar.

"Ula. Pulang dengan Fino aja, dengerin gue kali ini."

"Alula, lo mau pulang dengan teman sekelas lo ini apa gue?" pertanyaan kedua berhasil menyentak jantungku. Pegangan Fino kulepas paksa. Sungguh, dia berteriak di dalam sana, jangan menolak, jangan mengabaikan dirinya, atau lo mati. Enggak, ada hal lain dalam kalimat yang Dion ucapkan padaku, seperti.

'Alula, lo pulang dengannya maka siap-siap untuk tersiksa'

"Fino, maaf. Gue harus pulang sama Dion."

"Apaan sih-"

Janji 30 Hari [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang