[H-26] Gelap dan Terang

616 55 0
                                    

Detik dan detak itu berisik. Sangking berisiknya membuatku capek jika terus bernyawa di dunia hampa ini.

OoO

Jika saja ada satu ruangan kedap suara di sini, di tempat ini, mungkin aku akan berlari sekencang mungkin lalu merebahkan tubuh di antara dinginnya lantai. Entah kenapa, suara-suara mereka menyerbu telingaku, bisik-bisik menyeramkan membuatku teringat waktu di mana aku akan mati dan lenyap, semua kembali menyeruak tanpa henti.

"Lo ngomong apa? Otak lo kebentur?"

Gila, atas dasar apa aku menyebut nama Jeko bahkan mengadukan tentangnya di sini, siapa yang akan percaya, mungkin mereka berpikiran aku kurang waras, mungkin.

"Aakkhh."

"Ula, kenapa? Lo sakit?"

Sahabat-sahabatku maaf, kali ini aku harus berbohong, aku tak ingin melibatkan kalian lagi, jangan.

"Greya, lo mukul orang sakit?" semua gaduh, aku terdiam.

"Jahat banget sih!"

Tuhan, marahi saja aku, atau jika perlu lakukan sekali lagi seperti waktu itu. Tapi aku mohon kali ini renggut nyawaku, jangan biarkan aku hidup seperti sekarang, hanya menambah noda di antara kain-kain bersih.

"Lo pura-pura sakit, kan?"

Cengkraman Greya menguat di lenganku, bahkan wajahnya terlalu dekat hingga bisa kutatap manik marah di sana. Aku memberi seulas senyum dalam diam.

"Maaf Greya, apa lo bisa lepasin tangan lo, kuku-kuku tangan lo nyakitin gue. Dan satu lagi, baju gue basah, dingin," teriakan kasar lagi yang diterima Greya sehingga mau tak mau pegangannya terlepas. Ya, aku berbohong, aku akui.

"Kali ini lo selamat dari gue, tapi jangan harap untuk besok!"

"Akan kutunggu," dia pasti tak mendengar, aku kecewa. Bagaimana pun juga, aku hanya bergumam lirih yang sulit sekali tersampaikan dengan cara bersorak persis seperti gadis itu.

"Ula."

"Gue mau ke kamar mandi, sekalian ganti baju dengan baju olahraga."

"Lo bawa baju olahraga?" kening Tiana mengernyit, apa dia lupa hal-hal gila seperti ini sering terjadi dan seharusnya mereka mengerti.

"Iya."

"Ayo, gue temenin-"

"Gak usah, kalian lanjut makan aja, gue bisa sendiri."

"Tapi Ula."

Kutepuk bahu Agnes yang sedari tadi menaruh banyak kekhawatiran padaku, terima kasih, dan maafkan aku. "Gak papa, aku bisa sendiri."

Langkahku terasa berat, seolah menyandang beribu-ribu tumpukan pasir, hatiku juga terasa kian pedih, seolah ditusuk-tusuk duri. Detik dan detak itu berisik, tapi detak dalam ragaku tak hanya mengusik melainkan menyakiti. Sakit sekali.

"Siapa Greya? Kenapa lo gak balas memukulnya? Lo gadis lemah? Bagaimana bisa gue pacaran sama gadis kek lo?"

Dia mengoceh, aku yang kecelakaan dia yang lupa ingatan membuatku semakin merasa kesal. Masalahnya sekarang bukan pada suara Jeko, tapi angka di pergelangan tanganku tak bisa dihapus dengan air, apa aku harus melenyapkannya dengan cara mengikis menggunakan pisau.

"Lo gila! Pake otak dong, Ula, kalau lo menghapusnya pake pisau, lo bisa terluka bodoh!"

Aku menoleh padanya, tepat di sisiku dengan lengan yang masih terlipat. Helaan kubuang kasar, melihat dirinya membuatku merasa marah begitu juga kasihan, ingin memukul Jeko tapi aku sadar jemariku masih menembus tubuhnya.

Aku menatap cermin, melihat dia yang sama sekali tak ada di sana, Jeko benar-benar hantu.

"Gak usah baca pikiran gue, dan lo Jeko, apa gak bisa lo pergi, gue risih diikutin terus kek gini."

"Perjanjian kita 30 hari, apa lo lupa?"

"Terserahlah."

Aku beranjak setelah selesai mengganti baju kumuh tadi dengan pakaian olahraga. Satu hal yang menyumbat pikiranku, apa tadi dia mengintip? Ah, tidak mungkin, aku bisa melihatnya dan dia tak ada di sana tadi. Benar.

Masalahnya sekarang, pintu ini terkunci, tidak. Dikunci dari luar.

"Apa gue akan mati hari ini di sini karena kelaparan? Greya tak bercanda soal bunuh membunuh rupanya."

"Teriak bodoh! Mungkin akan ada yang mendengar di luar."

"Apa lo gak bisa berguna jadi hantu, Jeko?" kualihkan tatap pada netra tajam itu, kulihat dia yang mulai mengepalkan jemarinya, dia geram padaku atau kesal karena aku terjebak di kamar mandi dengannya. Bukan, Jeko kan bisa menembus dinding.

"Apa maksud lo?"

"Lupain aja, toh lo gak bisa berteriak pada sahabat-sahabat gue dan menyuruh untuk datang ke sini."

Kenapa dia diam, apa aku salah bicara? Sepertinya tidak. Terduduk aku di lantai, membiarkan lengan memeluk lutut di sana, berteriak perintahnya, aku tak akan melakukan itu.

"Akan gue coba, lo tunggu di-"

"Jangan pergi Jeko, tetaplah di sini. Tolong temani gue."

"Lo gak mau keluar?"

"Gue takut," kataku lirih.

"Masalahnya lo bareng hantu sekarang."

Iya, Jeko memang hantu yang tak bisa dilihat oleh orang lain terutama di sekolah ini, tapi Jeko pernah menjadi bagian paling penting dalam detak jantungku, dia pernah memberikan dentuman yang berupa kebahagiaan sekaligus rasa pedih. Jika saat ini aku merasa Jeko bukanlah Jeko, tapi wajah tampan dengan tatapan dinginnya seperti nyata.

Jeko, memang benar kata orang, bangsawan tak bisa bersanding dengan rakyat jelata. Pangeran tak mungkin menikahi selir istananya. Mustahil sekali.

"Gue gak ingat apa pun tentang kita, gue gak tau kenapa gue mati secepat ini, yang gue dengar dari pikiran lo, kita pasangan."

Sial, dia ikut berjongkok dan menunduk tepat di hadapanku, dan apa-apaan degup di dadaku kenapa dia berlomba untuk terdengar, apa aku mulai mencintai seekor hantu?

"Jangan salahkan hati, dia tak pilih-pilih untuk berdetak," berani sekali Jeko tertawa setelah mengatakan kalimat menggelikan seperti tadi. "Lo memang gadis kecil dan juga kurus, tak cantik sama sekali, berbeda jauh dengan Greya bahkan teman-temannya. Tapi ada satu hal, mungkin yang berhasil membuat gue terpikat sama lo. Mmmm, apa ya kira-kira."

"Pelampiasan."

Kami bersitatap, terdengar aneh jawabanku, tapi semuanya memang sangat nyata. Dia melampiaskan segala hal padaku, dan aku bisa meminta uang lebih padanya. Yah, hubungan kita bukan pasangan yang bahagia, tapi simbiosis mutualisme.

"A-apa maksud lo?"

"Melampiaskan semua amarah. Pukulan, cacian, bahkan teriakan bergema yang gue dengar, semata-mata untuk menghilangkan kekesalan yang datang dalam jiwa lo," aku menghirup kian rakus udara lalu terbuang dengan kasar. "Kenapa lo lupa sama hal terpenting kek gini Jeko, seharusnya lo ingat semua kejahatan di masa hidup untuk bisa lo renungin sebelum benar-benar lenyap dari dunia ini, bukan?"

"Memukul?"

"Ya, lo suka memukul gue. Lagi pula, tak ada yang benar-benar menyakitkan daripada dihidupkan hanya untuk dibunuh. Tak ada yang lebih menyedihkan ketika dibiarkan bertumbuh tapi sendirian. Dunia ini luas sekali, tapi gue melangkah tanpa pegangan."

"Jeko."

"Apa?"

"Cobalah untuk terus mengingat, lo bakalan tahu seperti apa kisah kita di masa lalu. Seperti apa perjalanan hidup gue yang membuat lo muak, setidaknya..."

"Lo berhasil membawa gue masuk ke dunia lo, walaupun hanya sebatas malam menuju siang."

OoO

Janji 30 Hari [END]Where stories live. Discover now