[H-15] Kalimat Jahat

329 31 0
                                    

Saat awan membuat langit menangis. Apa yang sedang dia pikirkan?

OoO

Hari di mana gelisah membungkam seluruh pendengaran dalam otakku. Hari itu pulalah kehidupan berjalan tak seindah langit di penghujung senja. Kerumitan mana yang berhasil membunuh sebagian ragaku, kesakitan mana yang menyerbu satu titik dalam detak jantungku.

Tuhan, andai saja waktu berputar ke awal aku baru merangkak, hari di mana lembut usapan tangan besar menenangkan, kecupan sayang penuh pengharapan. Dulu sekali, pikiran ini selalu berputar bagaimana cara beradaptasi dengan tawa yang dihasilkan oleh mereka.

Sekarang, aku terus membatu dalam tegak saat mata-mata kejam itu ingin berucap padaku. Tak perlu beberapa kalimat, satu kata saja berhasil merobohkan pertahananku.

"Gue mau ketemu sama seseorang, lo tunggu di sini sebentar."

Kutatap seorang ibu muda di sana, menggendong bayi dalam pangkuan, menggelitik lalu tertawa penuh kebahagiaan. Tanpa kusadari, sudut bibir ini tertarik dan gelak singkat penuh harapan terpancar tanpa sebab.

"Alula," jemari hangatnya menyentuh bahuku. "Kenapa? Lo lihat apa?"

Aku pikir tadi itu Jeko.

"Maaf."

"Alula."

"Gue gak papa, lo pergi aja."

Langit saja tak bisa setia, digulung awan hitam pekat langsung meluncurkan tetesan jernih ke bumi. Membasuh segala hal tanpa ampun, menghunjam semuanya tak memberi belas kasih. Ibu tadi telah menghilang di dalam rumah kecil berdinding kayu, digantikan dengan teriak anak-anak yang berlari menjerumuskan diri dalam hujan. Kedua jemari laki-laki kecil di sana terangkat, mengibas lalu terkekeh sangking senangnya.

"Mau mandi hujan? Gue temenin deh."

Aku menggeleng, kejadian seperti ini selalu membuatku takut. Hujan selalu mendatangkan bencana dalam hidupku, setiap kali alam sudah menangis, hari di mana kehancuran selalu bermunculan, kematian, isak tangis serta semua kisah yang mungkin telah usai.

"Ula-"

"Lo harus ingat kejadian hari ini, Jeko."

"Kenapa gue?"

"Semuanya berasal dari lo, semua kesakitan dan salah paham ini, dari lo. Gue harap lo akan menyesalinya sampai mati."

"Gue udah mati. Dan penyesalan lah yang membuat gue berada di sini. Mungkin."

Masih ingat saat petir memekakkan telinga, hujan deras mengguyur bersama dengan binar cerah netra ini memandangi halaman di luar jendela. 10 tahun masih terlalu muda untuk menorehkan trauma dalam jiwaku.

Dia masuk tanpa mengetuk, menutup rapat pintu kamar lalu menguncinya. Duduk Dion di sebelahku lalu berbisik.

"Lo tahu ada beberapa panggilan untuk seorang anak," tengkukku dicengkram kian erat, hembusan napasnya bermain di telingaku. Dion, panggilan pelan dalam helaan napas lemah berhasil membuat tubuhku bergeming.

"Anak pintar, anak baik, anak kesayangan dan anak haram. Bagian di diri lo, yang terakhir."

"K-kak Dion-"

"Lo anak haram, Alula."

Semakin dia memperjelas ucapannya, pikiranku semakin berkabut. Haruskah aku mendengarkan lagi, atau haruskah aku mempercayainya.

"Beruntung lo lahir berjenis kelamin perempuan sehingga Ibu dan Ayah gue mau menampung lo di rumah ini. Haa, kalau diingat betapa menyedihkan tubuh polos dalam kardus yang tergeletak di hadapan rumah gue, meraung memohon belas kasih, rasa-rasanya gue pengen ketawa. Sekarang dia mulai bertingkah kelewat batas, melupakan di mana asal usulnya."

Janji 30 Hari [END]Where stories live. Discover now