[H-18] Sang Pembunuh

359 36 0
                                    

Ada bisikan tenang yang berhasil merampas detak dalam jiwaku. Seperti hiduplah bersama neraka setiap waktu.

OoO

Tenanglah sayang, hari ini akan menjadi lebih buruk daripada hari-hari sebelumnya. Pernahkah kamu memikirkan apa yang telah aku katakan beberapa bulan terakhir, tetaplah hidup. Aa, aku lupa. Maksudku selama denganku kamu akan hidup, selama mendengar ucapanku, kamu akan hidup.

"Lepasin Alula, brengsek! Lo bisa membunuhnya!"

"Gue gak akan mungkin nyakitin lo, Ula. Jadi gue mohon, jangan bertingkah yang berhasil membuat lo sakit."

Napasku terembus tenang setelah lintasan angin menerjang lalu Dion masuk ke dalam mobilnya. Kualihkan tatapan pada tanah, menunduk seraya mengusap lelehan cairan merah yang menetes di leherku. Luka sayatan kecil, memberikan rasa perih yang besar.

"Anjing! Dia psikopat? Kok bisa-bisanya membawa pisau lipat ke kantor? Dan... Luka di leher lo-"

Aku menatap Jeko yang langsung diam dari ocehannya.

"Gue gemetar Jeko. Untuk pertama kalinya gue takut mati kalau yang melakukannya Dion," ungkapku padanya, Jeko mengernyit.

"J-jangan bilang-"

"Kenapa lo mati? Kenapa lo mati sebelum membuat laki-laki di sana terbunuh. Lo udah janji satu hal sama gue, tapi sekarang apa?"

"Alula. Gue udah terlambat dua menit."

Perjalananku terasa kosong, pemandangan kali ini terlihat menakutkan. Berada di samping laki-laki bermuka datar yang tengah fokus pada arah jalan, memaksaku untuk tetap diam, hingga beberapa menit sebelum menuju sekolah dia menghentikan laju mobilnya.

Dia mengulurkan plester padaku. "Leher lo luka, pake sendiri atau gue yang pakein?"

"Gak merasa bersalah sedikit pun. Manusia gila"

Andai aja Jeko mengingat betapa gilanya dia melebihi Dion, apa mungkin Jeko berani mengatakan itu?

Aku merampasnya sedikit kasar. "Lo bodoh Dion, kenapa gak lo tusuk lebih dalam lagi supaya gue bisa mati hari ini."

"Gue cuma menggertak orang yang katanya mau mati, tapi dia gemetaran perkara pisau kecil. Lemah."

Aku tergelak sinis, membuang muka dari Dion. Tanpa aba-aba, dia menarik genggaman tanganku untuk merampas plester yang semula ia kasih, belum sempat mataku menatapnya, plester darinya mulai menutupi luka di sana.

"Selama ini gue selalu berusaha menjadi penyelamat buat lo, datang tepat waktu. Lucu aja kalau sekarang gue mencoba membunuh. Ula, gue sayang sama lo."

Tubuhku merinding saat Dion merapatkan dirinya, usapan lembut pada rahangku perlahan berubah jadi cengkraman menyakitkan. Setiap hari, bukan. Setiap menit dia bisa merubah sikap dan juga sifatnya.

"Apa lo paham sekarang kenapa gue bilang kalau orang yang paling gue benci di dunia ini adalah lo?" pertanyaanku sebenarnya terarah untuk Jeko dan aku yakin dia mengerti maksud dari ucapanku.

"Gue tahu."

"Ula."

Panggilan itu, panggilan tak biasa yang sama sekali tak pernah kudengar. Terlihat dirinya di belakang sana, sayup netra dari pandangannya membuat sudut bibirku mulai tertarik naik.

"Akhir-akhir ini lo sering ngomong sendirian di kamar tengah malam. Apa ada sesuatu yang lo lihat?"

"Bukan urusan lo, Dion," aku mengalihkan tatap. "Gue jalan dari sini, terima kasih."

Janji 30 Hari [END]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora