[H-25] Dunia itu Kejam

547 53 0
                                    

Mungkin sentuhannya memabukkan sehingga terjerat lebih dalam menjadi pilihan paling akhir.

OoO

Sunyi sekali, tidak ada ocehan lawak, tak ada tarikan erat, tak ada pelukan hangat. Semakin hening ketika Jeko menghilang entah ke mana. Aku lapar sekali, hanya satu potongan kecil yang masuk dan itu sama sekali tak ber-efek apa-apa, haruskah aku meminum air? Tidak, jika ingin mati jangan lakukan itu.

Bughh...

Bughh...

"Alula, apa lo ada di dalam?"

"Alula!"

Dia lagi, dari banyaknya manusia kenapa harus selalu dia yang berhasil menemukanku. Aku benci aksi penyelamatan tak berarti seperti sekarang, tolong biarkan aku mati di sini, jika memang harus gentayangan seperti Jeko, aku siap menghuni salah satu bilik kamar mandi ini dan mengerjai mereka semua. Ayolah Tuhan, berdamailah denganku sekali saja.

"Jauh-jauh dari pintu Alula, gue mau dobrak."

Lakukan saja jika tak mau patah tulang. Menobrak pintu tak semudah aksi di dalam drama, jadi jangan-

Brak...

Sial, dia berhasil menjadi seorang pahlawan.

"Alula."

Grep...

Pelukan ini tak menghangatkan, pelukan ini tak mendamaikan, pelukan ini... Sakit sekali.

"Alula maaf gue datang terlambat, lo gak papa kan? Apa ada yang terluka?"

Fokusku bukan pada Dion, tapi mereka. Agnes menunduk, Tiana diam dan Dimea tampak murung. Mereka tak bersalah, akulah yang salah.

"Gue gak bermaksud ninggalin lo, Ula. Tadi gue mencoba cari bantuan sama-"

"Lepas! Jangan pernah sentuh gue, Dion!"

Aku berlari, mengabaikan suara Jeko dan juga menyentak jemari kasar yang memegang kuat lenganku. Melangkah mempertipis jarak pada mereka bertiga lalu merangkulnya penuh pertimbangan. Isak tangis mulai terdengar, aku tahu mereka begitu khawatir dan aku minta maaf untuk terus mencoba untuk menyerah dengan hidup, mereka masih ingin aku ada di dunia meskipun dunia tak menginginkanku. Maaf.

"Kami tadi udah teriak di sini, kenapa lo gak menyahut Ula?" keningku mengernyit.

"Kenapa lo jahat kek gini, lo mau sendirian di sini sampe pagi, hah?"

"Maaf," ucapku lirih. "Maafkan aku."

"Ula, kami di sini, kami ada buat lo. Tolong jangan merasa sendirian, tolong.

OoO

Apakah Ibu dan Ayahku khawatir, maksudku paman dan bibi. Apa mereka memikirkanku bahkan tak sempat untuk makan, apa mereka akan berteriak kencang ketika putri tersayangnya menghilang tanpa kabar. Tidak salah lagi, mereka selalu melakukan dan pasti melakukannya. Namun, yang menjadi masalah, kapan aku merasakan dicari oleh Ayah dan Ibu kandungku? Kapan?

"Kenapa gak pulang aja?"

"Makan dulu sebelum pulang, Ibu pasti khawatir kalau lo terlihat lemas nyampe rumah."

"Gue benci makan di luar-"

"Bisa gak usah membantah, Ula. Lo hampir mati, sialan!"

"Jangan panggil gue dengan nama itu!"

"ULA!"

Netraku menelisik, mencari sumber suara yang berbisik setelah diusik oleh teriakan kasar dari Dion. Terakhir kali dia marah, saat aku dengan sengaja melempari mobilnya dengan tanah, kira-kira dua bulan yang lalu sebelum aku membencinya hingga detik ini.

Janji 30 Hari [END]Where stories live. Discover now