[H-17] Seorang Pelacur

402 35 0
                                    

Bahkan noda pun masih punya kesempatan untuk berkembang. Kenapa aku diperlakukan lebih buruk dari noda?

OoO

Meja paling belakang tepat di belakangku, berisik cukup memuakkan. Kadang suara bangku yang sengaja dipukul kuat, kadang dentingan sendok yang ditekan keras, kadang tawa meremehkan terlintas disengaja.

"Jangan macem-macem. Anak pemilik sekolah aja bisa gak sekolah di sini, apa lagi kita yang cuma remahan kerak nasi."

"Lo ingat gak? Dulu waktu Jeko masih hidup, dia cuma bisa berdiri di belakang punggung dengan wajah pucat."

"Kasian Jeko, ditumbalin."

Tak...

Sempat kulihat amarah Agnes dan juga Tiana. Merespon pembicaraan yang memekakkan telinga.

"Mulut busuk kalian tercium sampai ke sini, sialan!" Dimea yang justru mengumpat. Aku terdiam.

"Alula, gak usah di dengerin," suara Agnes saling sahut menyahut di telingaku.

"Alula ayo main!"

"Alula ke sini."

"Alula... Bodoh anjing!"

"Alula..."

Mataku tertutup rapat-rapat, perasaan ini muncul berulang-ulang tiada henti, banyak benci yang merubah rasaku padanya.

"Di mana yang sakit? Ula, bagian mana yang perih? Lo bisa bilang sama gue, lo bisa cerita sama gue."

Percuma Jeko, sentuhan jemarinya tak bisa kurasakan lagi. Hanya sekali yang tak bisa kupahami waktu itu, waktu di mana pelukan seseorang yang telah mati terasa sangat nyata.

"Jeko."

"Iya."

Ketiga orang itu memandang diriku dengan tatapan yang berbeda, saat aku menyambut pandangan mereka, satu tegukan terbuang kian kasar.

"Lo nyebut nama siapa? Gue gak salah dengar, kan?" aku mengangguk. "Kenapa?" tambah Agnes.

"Gue... Cuma kangen."

Perputaran waktu seakan terhenti di sana, halusinasi bergerak bebas dalam pandanganku. Musim hujan yang menyejukan tubuh terasa, sepoi angin menyenangkan menggores perasaanku.

Pernah satu hari di mana aku kabur dari rumah, menerjang lagi dan lagi tetesan yang membasahi bumi, aku berteriak dalam pelarian sambil menangis.

"JEKO! ANJING."

Tangisku bercampur dengan hujan, isaknya bersahutan bersama deras tetesan air dari langit.

"MATI AJA LO BRENGSEK! MATI."

"PERGI DARI HIDUP GUE!"

"JEKO. HIKS... RASANYA SAKIT! SAKIT."

Sepersekian detik meraung dan meracau tiada henti, kepalaku rasanya seolah terbelah dua, mendongak pada rumah besar yang sekarang menampakan wajah laki-laki dari jendela sana, membuat kepala ini semakin pedih.

Aku tahu dia di sana, aku tahu dia mendengar, aku tahu kalau Jeko senang menyaksikan kehancuranku yang seperti ini.

Setelahnya, bangunku bukan lagi pada halaman luas rumah itu, bukan di bawah deras hujan, bukan lagi berteman sejuk angin, tapi sebuah kamar yang nyaman, kamar yang besar serta selimut tebal menghangatkan. Suasana gelap dari dinding gelap ini, seolah membuatku menjadi layaknya bunglon yang langsung beradaptasi. Kegelapan, itu hidupku.

"Kalau mau mati jangan di rumah gue!"

Bisa kulihat tatapan marah Jeko, tapi aku tak berniat membalas perkataannya, entah kenapa mulutku enggan digerakkan.

Janji 30 Hari [END]Where stories live. Discover now