5, Begitu Patah Sampai Sulit Diperbaiki

212 41 4
                                    

[Saat yang Sama, Kisah Lain Di Sudut Lain Bumi]

.

MALAM itu udara sangat panas. Walau matahari sudah jatuh jauh ke sudut barat bumi, tapi panas yang tersisa setelah seharian memanggang bumi masih membuat udara pengap seperti di sauna.

Wilayah itu berada di utara Jakarta. Wilayah yang masih menikmati angin laut walau terhalang bangunan-bangunan semi permanen. Tempat yang lebih sering mendapatkan mendung saja tanpa hujan sempat turun. Hujan sudah habis di perjalanan dari gunung ke laut.

Udara yang pengap membuat warga memilih duduk mencari embusan angin di depan rumah. Tidak bisa disebut teras karena rumah-rumah itu banyak yang tidak memiliki pagar. Pintu depan harus berhadapan langsung dengan jalanan. Namun tidak hanya karena malam itu panas maka mereka memilih duduk di depan rumah. Hampir setiap saat mereka duduk di sana karena rumah mereka begitu mungil tapi sesak terlalu banyak penghuni.

Anak-anak yang kehabisan lahan bermain pun menggunakan jalanan sempit sebagai tempat bermain. Membuat gang kecil itu begitu ramai. Riuh rendah dengan suara anak-anak berteriak dan ibu-ibu yang bertukar gosip sambil tetap duduk santai melepas penat di depan rumah. Tidak ketinggalan para lelaki yang bergerombol sambil menonton pertandingan bola melalui sebuah TV kecil yang diletakkan di pos keamanan seukuran toilet mal. Sesungguhnya, mereka kesulitan membedakan bola dan kepala, tapi bukan itu esensi menonton menurut mereka. Mereka hanya ingin bersantai. Sesederhana itu. Sesederhana kehidupan mereka sehari-hari. Berteriak kegirangan ketika bola masuk gawang itu hanya alasan untuk kebahagian kecil yang mereka terima hari ini. Termasuk berteriak kesal dan jengkel mungkin untuk memaki bos yang galak dan tidak berkompromi.

Seorang pria berpakaian selusuh motor yang dikendarainya berjalan pelan menerobos kerumunan. Sulit mengendarai motor di jalan sesempit dan sepadat itu. Dua motor berpapasan pun salah satunya kadang harus mengalah memberi jalan yang lain lewat terlebih dahulu. Walau lusuh, senyum ramah menyapa berpermisi kepada warga-yang sebagiannya adalah ibu-ibu-selalu terlihat di wajahnya. Di jok belakang, sebuah keranjang kosong berwarna merah terikat. Mungkin senyum ramahnya pun karena keranjang itu kosong.

Setelah berkelat-kelit di gang sempit, akhirnya dia tiba di sebuah rumah. Tak ada teras, dia harus bisa menyelipkan motornya untuk parkir di antara motor lain. Kalau tidak, pengendara lain tidak bisa lewat di depan rumah itu. Ketika sedang memarkir motor itulah pintu rumah terbuka. Seorang anak lelaki kecil keluar menyambutnya.

"Tumben jam segini sudah datang, Man," sapanya sambil membuka ikatan keranjang. Lelaki itu tersenyum sambil mengacak-acak rambut si bocah lalu melepas jaket kumal berbau keringat, debu, polusi, dan matahari.

"Iya, tadi ngantar paketnya dekat-dekatan semua." Melepas sepatu karet, dia masuk ke rumah. "Kamu nggak main?" Dia langsung duduk meluruskan kaki. Tak ada kursi di ruangan itu. Hanya selembar tikar plastik dan sebuah rak kecil di sudut. Ruang ini hanya berukuran 2x2,5 meter. Memang lebih baik jika tak ada kursi yang bisa membuat ruangan semakin sempit. Hanya ada sebuah jam dinding dan kipas angin yang berputar maksimal menghias dinding berwarna putih. Dinding yang walaupun mulai kusam tapi tetap terlihat bersih.

"Ini baru mau keluar."

"Memang sudah kerjain PR?"

"Sudah lah. Mau dijewer Ibu?" jawab si anak kecil sambil berjalan keluar.

Tak lama, seorang wanita muda-cantik dan manis-keluar dari ruang tengah sambil membawa segelas besar es teh manis. Minuman yang sangat cocok untuk udara panas seperti ini. Tersenyum, dia langsung melirik keranjang merah di samping si lelaki yang langsung membalas senyumnya dengan begitu memuja.

"Habis dagangan aku ya, Mas?" Meletakkan gelas di samping si lelaki, dia duduk di sampingnya

"Habis lah. Kue-kue kamu kan enak," jawabnya sambil mengambil gelas lalu menenggak isinya sampai tandas. "Lagi, La." Tersenyum, dia menyerahkan gelas gosong.

Menunggu gelasnya terisi lagi, dia merogoh kantung tas, mengeluarkan isinya sampai habis. Sejumlah uang yang sebagian besar lusuh dengan ikatan tak rapi dia letakkan di lantai. Dia tak menghitung jumlahnya. Kantung itu memang dia khususkan untuk uang penjualan kue.

Si wanita kembali keluar dengan gelas yang sudah terisi penuh. Langsung menyerahkan gelas ke si lelaki, lalu duduk dan mulai merapikan dan menghitung uang. Kali ini si lelaki menyesap perlahan es teh manis. Haus sudah hilang, dia ingin bersantai dengan perempuannya. Perempuannya? Anggap saja seperti itu.

Setiap melihat perempuan itu, senyum tak mau pergi dari wajahnya. Berhias mata yang memandang penuh kasih, sayang cintanya masih tak berbalas. Dia menikmati pemandangan perempuannya-calon perempuannya-yang menghitung uang.

"Laras..." Perempuan itu mengangkat wajah.

"Ya?"

"Kalau ada yang mau pesan buat arisan hari Minggu ini, kamu bisa nggak, La?" tanyanya ketika si wanita yang dia panggil La sudah selesai menghitung. Uangnya sudah rapi, tersusun sesuai arah uang dengan nominal yang paling kecil di atas, koin menjadi pemberatnya.

"Bisa kok, Mas."

"Kamu tuh kalau ada yang order langsung bisa deh."

"Aku kan pecinta rupiah." Dia tergelak sambil duduk bersandar santai di depan si pria. "Makasih ya, Mas Pram."

"Iya. Sekarang pecinta rupiah aja, nanti tambah jadi pecinta aku." Dia terkekeh sendiri sementara si perempuan hanya merengut manja. Membuatnya semakin gemas.

Selalu seperti itu.

Setiap pagi, Pram, si lelaki, akan singgah di rumah Laras mengambil keranjang berisi kue-kue buatan sendiri untuk dititipkan ke beberapa kantin di sekitar kantornya. Pram juga yang mencarikan kantin yang mau diajak bekerja sama. Keuntungan yang diperoleh dia berikan sepenuhnya untuk Laras. Lepas kerja, dia akan mengambil keranjang-keranjang kosong lalu mengantarnya kembali ke Laras.

Segelas atau dua gelas es teh manis dan senyum manis Laras sudah cukup untuk membayar kerepotan tambahannya sebagai kurir sebuah ekspedisi.

"Dia mau pesan kue apa aja, Mas?" tanya Laras mengisi kembali ruang sunyi di antara mereka. Tak sesunyi yang orang kira karena suara dari luar masuk sejelas mereka berbincang langsung di ruangan itu.

"Besok aku tanyain lagi ya. Sekalian mau berapa biji."

Seorang wanita paruh baya keluar sambil menggelung rambut.

"Ada yang pesan kue, Nak Pram?" tanyanya. Duduk di samping Laras, dia memasukkan uang yang sudah rapi ke dalam kotak kaleng bekas wadah biskuit.

"Iya, Bu." Pram mengambil tangan si ibu, menciumnya takzim. "Kalau Ibu repot, nanti Pram ke sini bantuin bikin bisa kok. Minggu ini Pram libur."

"Nggak usah, nanti Laras aja yang antar ke yang pesan. Kamu libur, ya istirahat aja."

"Nggak repot kok, Bu."

Si ibu hanya tersenyum lalu berdiri dan berjalan kembali ke dalam, memberi waktu Pram untuk berdua saja dengan anaknya.

Untuknya, Pram adalah menantu idaman. Tak peduli apa pekerjaannya, bagaimana asal usulnya, dia percaya Pram bisa menjaga anaknya, menjaga hatinya yang pernah begitu patah sampai sulit diperbaiki.

***

Bersambung

Di Sudut-Sudut Hati [on going]Where stories live. Discover now