194, Ke Timor di Timur

88 24 7
                                    

Malam kembali datang. Fabian hanya bergulang-guling di ranjang. Gelisah menunggu kabar. Namun paling tidak dia bersyukur, Nia sudah lebih normal. Satu masalah hampir selesai.

Bosan, dia mengentak tubuh, sejenak duduk di tepi ranjang dengan tangan mencengkeram tepinya, dia menatap lurus menembus kaca. Malam ini bulan sipit menyabit, tapi malam yang cerah membuat langit berhias bintang jelas terlihat.

Tanpa sadar dia sudah berjalan ke balkon. Berdiri bersandar di pagar, tangannya lagi-lagi mencengkeram, mengalirkan kegundahan hati.

Rey, kamu di mana, Sayang? Pulanglah. Temani aku.

Dia menyampaikan risau hatinya pada angin. Berbisik bersama malam, menitipkan pesan rindu pada bulan.

"Papa...."

Suara kanak-kanak di belakangnya membuat Fabian tersentak dan langsung tersadar. Segera dia menoleh dan merapikan wajah yang berantakan. Tersenyum, dia berlutut dengan sebelah kaki dan menyambut kedatangan Bumi dan Tari. Kembarnya yang dua hari ini total terabaikan.

"Ya, Nak?" Dua anak itu langsung memeluk ayahnya. Tari duduk di tungkai ayahnya yang tertekuk sambil memeluk leher ayahnya sementara Bumi berdiri bersandar di lengan Fabian.

"Papa sibuk banget ya?"

Fabian mengedikkan bahu, "Semacam itulah. Kenapa?"

"Biasanya Papa sibuk tapi tetap bisa main sama kami."

"Maaf ya." Fabian mengecup pipi Tari. "Papa banyak pikiran."

"Kapan selesainya?"

"Bantu doa biar cepat selesai ya, Nak. Papa juga capek banget. Pengin main sama kalian."

"Nanti kalau sudah nggak sibuk kita main ya, Pa."

"Iya."

"Sama Mama ya, Pa."

"Iya." Fabian berusaha tersenyum.

"Sekarang Mama mana, Pa? Kemarin kita pulang sekolah bukan Mama yang jemput."

"Mama lagi ada urusan mendadak, jadi nggak sempat pamit."

"Tapi kan bisa pamit lewat telepon. Biasanya kan juga gitu."

"Mungkin di sana nggak ada sinyal."

"Hhmm..."

"Memang Mama ke mana sih, Pa? Sampai nggak ada sinyal."

"Mama ke rumah temannya."

"Di mana?"

"Jauh."

"Ya di mana? Ayo kita jemput, Pa."

Fabian menarik napas panjang. Berbicara dengan dua anak ini seperti berbicara dengan satu orang. Mereka saling menanggapi.

"Kan Papa lagi sibuk, nggak sempat jemput Mama. Mama juga masih ada urusan. Kalian tunggu aja. Nanti kalau Papa sudah nggak sibuk, Papa jemput Mama. Kalau urusan Mama sudah selesai, Mama pasti langsung pulang."

Ya Tuhan ... begini saja sudah berat. Apa jadinya jika kita sungguh berselisih paham, Rey? Kenapa kamu pergi, Sayang? Kamu lupa perjanjian kita?

.

"Mungkin nanti aku akan marah sama kamu, marah sekali, sampai untuk bertemu pun aku enggan. Please, padamkan amarahku. Redakan egoku. Hentikan sesatku. Please, temui aku, cium aku, peluk aku. Lakukan apa pun, apa pun, untuk kembalikan cintaku padamu. Dan saat itu terjadi, jangan pergi, Rey. Bertahanlah. Seberat apa pun itu, bertahanlah. Selama kita bersama, kita akan selesaikan semuanya berdua. Berjanjilah untuk itu, Rey."

Di Sudut-Sudut Hati [on going]Where stories live. Discover now