10, Tidak Butuh Lelaki Lain

171 38 0
                                    

[Hari yang sama di tempat yang tidak sama di malam hari]

.

DIA sudah sering memikirkan lamaran Pram. Tapi beberapa hari terakhir, dia memikirkan lamaran itu lebih serius dari biasanya. Dan malam ini dia sampai gelisah. Berkali-kali memutar badan di ranjang yang mereka pakai bersama. Walau dia berusaha sepelan mungkin, tapi ada manusia lain yang menyadari bahwa teman tidurnya masih hidup. Tanpa gerakan pun seorang ibu akan sadar kalau ada yang salah dengan anaknya. Ada yang mengganggu pikiran si anak sehingga tubuhnya tak mau beristirahat walau sudah sangat letih. Ini sudah lewat tengah malam.

TENG

Suara tiang listrik yang dipukul satu kali membuat dia tersentak. Orang yang tidur pun akan terbangun dengan suara sebesar itu, apalagi orang yang sedang menyelam di dunia lamunan. Tubuhnya menegang, lalu kembali melemas sambil menarik napas berat.

"Kenapa, Nak?" Berbisik. Tak mau mengganggu cucunya yang tidur mendengkur.

"Ibu kok belum tidur?" Yang disapa semakin terkejut.

"Gimana Ibu bisa tidur kalau kamu gugulingan nteu jelas kitu." Si ibu duduk di tepi ranjang sambil menggelung rambutnya yang sudah dua warna dengan adil merata. "Aya naon, Teh?"

Si anak ikut bergerak duduk. Tapi dia memilih bersandar di dinding sambil meluruskan kaki penatnya. Setiap hari dia bekerja, lelah badannya membuatnya mudah lelap. Sesekali memang kantuk terlambat datang, tapi tanpa ditemani pikiran yang melilit hati, dia bisa menyambut pagi dengan badan segar meski tidurnya kurang. Kali ini, gelisah membuatnya semakin merasa lelah.

"Kalau aku cerita, pasti Ibu langsung setuju deh." Lalu apa gunanya dia mencurahkan gelisah hatinya? Malah akan membuatnya makin tak karuan.

"Naon?" tanya Ibu tak sabar. Dia sudah memosisikan tubuhnya menghadap ke arah anaknya. Melihat anaknya seperti itu, dia yakin, apa pun yang ada di kepala Laras, benar-benar merusak malam anaknya.

Laras masih diam. Masih menimbang-nimbang apa penting dan guna membagi gundahnya pada Ibu.

"Mas Pram." Hanya sebuah nama dan dia yakin Ibu mengerti.

"Nah, iya, betul. Ibu setuju sama Pram." Benar saja.

"Tu kan...." Laras merengut.

"Lah, kamu yang aneh. Kenapa nggak mau sama Pram? Jelas-jelas dia mau terima kamu apa adanya." Jika tadi Ibu hanya memutar pinggang, kali ini dia bergerak membalik badan, menghadap langsung ke anaknya, duduk bersila di depan Laras. "Kamu takut dia bohong?" tanya Ibu memastikan.

"Bukan..." Terdiam. "Ini bukan tentang Mas Pram. Ini tentang aku, Bu." Laras tahu, semua ini selalu tentang dirinya.

"Tentang kamu atau tentang dia?" Si ibu menegaskan kata dia. Dan kebisuan anaknya menjadi jawaban maha jelas untuknya. Membuatnya hanya bisa menarik napas panjang. Selalu tentang dia. Pram bukan orang pertama yang mendekati anaknya. Tapi yang lain selalu gagal karena dia. Kali ini, si ibu tak mau lagi gagal. Demi anak dan cucunya. Mereka berhak bahagia. Dan Pram bisa memberikan itu.

"Ibu cuma mau ngingetin kamu, kalau kita begini karena itu pilihan kamu." Ibu mendesah lelah. "Sudah sepuluh tahun." Dia memijat-mijat jari-jari kakinya. Kepalanya lemah miring ke satu sisi tubuh.

"Ibu malu punya anak kayak aku?"

"Kalau Ibu malu, kita nggak ada di sini, Nak. Kamu di mana, Ibu di mana." Kembali, si ibu menarik napas panjang. Dia bergerak duduk bersandar di dinding. Tubuhnya terlalu lemah jika membahas urusan ini. "Kalau kamu memang mau sendirian terus, ya nggak apa-apa. Tapi kalau kamu milih kayak gini karena dia, itu yang Ibu nggak mau. Jadi orangtua tunggal nggak masalah. Ibu juga jadi janda dari kamu kecil, Ibu baik-baik aja."

Diam.

Ibu meluruskan kaki, lalu memijat tungkai tuanya yang mulai melemah. Laras diam, meresapi semua ucapan Ibu, menekuri hidup yang sudah dia pilih.

"Yang Ibu nggak mau, kamu sendirian tapi nggak bahagia karena mikirin dia terus. Kamu kayak orang nggak terima takdir. Padahal kamu begini karena kamu yang milih nasib kamu sendiri. Ibu nggak bisa salahin dia. Kamu yang ambil keputusan sendiri. Meski mungkin kalau dia tau ya kita bakal begini juga." Tanpa diperintah otak, Ibu menoleh ke arah cucunya.

Jeda.

"Setiap keputusan, ada konsekuensinya. Nah, Ibu cuma mau kamu ambil keputusan yang konsekuensinya bagus ke kamu." Dan ke anak ini juga, lanjut Ibu dalam hati. Tangannya ganti bergerak membelai rambut cucunya lalu menghapus keringat di dahi anak itu. Anak yang tidak tahu apa-apa, tidak tahu kehidupan seperti apa yang orangtuanya berikan pada dirinya.

Diam.

"Kalau kamu bahagia sendirian kayak gini, Ibu dukung. Tapi kalau kamu sendirian tapi nggak bahagia, Ibu nggak bakal dukung. Cukup sekali Ibu turutin keputusan gila kamu."

Lagi-lagi Ibu menarik napas panjang. Keputusan gila yang membuat hidup mereka berubah total.

"Kalau kamu bingung, nggak bisa ambil keputusan, nggak tahu mau kamu apa sebenarnya, tanya sama yang tahu masa depan." Perlahan bergerak bangun. "Kamu itu sholat nonggang-nonggeng doang cuma biar kewajiban kamu hilang aja." Ibu menggeser tubuhnya ke tepi ranjang, lalu perlahan berdiri dan tertatih berjalan ke belakang. "Hati-hati nanti keblinger," lanjutnya lagi sambil berjalan meninggalkan Laras sendiri dengan berjuta kegaduhan.

Ah, tidak berjuta. Hanya satu. Satu dan selalu membuat gaduh. Masih diliputi bimbang, Laras mendesah lelah. Nyaris tanpa sadar, entah untuk tujuan apa, dia berjalan ke ruang depan lalu berdiri di ambang jendela menyingkap tirai dan menatap ke luar. Jarak antara tempatnya berdiri dan dinding rumah di depannya sangat dekat. Tak sampai lima meter. Itu pun sudah tergolong jauh dibanding rumah yang lain yang bisa dibilang hanya dibatasi jalan kecil saja.

Hanya pemandangan rumah itu yang dia lihat. Melongok ke atas, sebentar lagi langit berada di malam tergelap. Saat ini, hanya redup cahaya bulan yang menghiasi langit. Bulan yang sendirian. Selalu sendiri.

Seperti aku?

Ah, ini hanya pilihannya saja. Selama ini dia selalu memilih sendiri saja. Baginya, ibu dan anaknya sudah cukup. Tapi perempuan muda secantik dia memang tidak bisa tidak membuat ada lelaki yang berusaha mendekat. Sebelumnya dia selalu berhasil menjauh. Lelaki-lelaki itu pun pergi setelah sadar diri mereka tidak diinginkan. Tapi yang satu ini tidak berhenti mendekat. Pun dia menjauh, tetap saja lelaki ini merengsek mendekat. Ketika dia tidak bisa mendekati Laras, maka dia masuk melalui ibu dan anaknya. Sekarang, Pram memegang dua kunci sebagai supporter utama. Jagya dengan rengekan meminta ayah, sedangkan ibunya dengan hati tulus ingin anak perempuannya hidup bahagia.

Ah, begini pun bahagia, Ibu.

Sudah sepuluh tahun mereka hidup bertiga saja, dan semua baik-baik saja. Sebentar lagi Jagya remaja, lalu dewasa. Sebagai satu-satunya lelaki, dia akan menjadi pelindung mereka. Mereka tidak butuh lelaki lain.

***

Bersambung

Di Sudut-Sudut Hati [on going]Where stories live. Discover now