167, Hujan di Tepi Hutan

113 28 27
                                    

Gelegar suara guruh menyentak lamunannya. Menarik Angkasa kembali ke masa sekarang. Di kamar ruang tamu tempatnya melarikan diri berinterior pilihan Nana. Kenangan akan Nana dan Laras membuat gelisah makin mengganggu. Kantuk yang dia harap malah berujung mata membulat sempurna menatap kosong langit-langit di atasnya.

Di luar, hujan menggila. Bersama petir dan guruh mengamuk di langit. Riuh seriuh hati Angkasa. Hujan berbadai di luar sangat mudah membawanya kembali ke kenangan akan hujan di tepi hutan. Kenangan yang tidak pernah dia lupa seberapa pun jauhnya dia pergi. Tetap melekat seberapa pun kuatnya dia berusaha melupakan kenangan itu. Bahkan kenangan indah bersama Nana pun tidak bisa menghapus satu kenangan itu.

Kenangan indah yang menyakitkan dan ternyata berbuah Jagya. Kenangan itu tetap indah dan menjadi semakin menyakitkan.

Di malam berhujan itu, dia hanya bisa mengulang semua sambil sebelah tangan memegang dada. Sesekali meremas untuk meredakan nyeri di dalam. Nyeri itu tetap ada tapi sakit fisik yang ditimbulkan tangannya bisa mengaburkan nyeri di dalam.

***

"Balik aja ah, Ga." Laras tetap menatap langit yang semakin gelap. "Mendung pisan. Kayak maghrib gini." Padahal ini adalah tengah hari. Matahari total bersembunyi di balik awan hujan yang hitam. Makin tersembunyi di balik daun, pohon, dan perdu.

"Whatever you want, Babe." Angkasa segera mencari tempat untuk bisa memutar mobil. Tak lama, mereka sudah berjalan kembali ditemani hujan yang turun menggila. Petir dan guntur bersahutan saling menyambar. Mereka memang terlindungi pohon besar, sangat mungkin tidak tersambar petir. Tapi petir masih bisa menyambar dahan pohon, lalu dahan itu jatuh menimpa mereka.

"Gila, padahal banyak pohon gini, wiper tetap kayak nggak mempan," ujar Angkasa menanggapi derasnya hujan.

Dia sampai harus memajukan tubuh sampai dadanya menyentuh kemudi demi bisa melihat jalan lebih jelas. Tapi itu tidak cukup. Jalanan terasa licin meski berbatu. Angkasa berusaha menepi, menumpang di keteduhan pohon.

Jalan itu cukup lebar untuk dilalui kendaraan beroda empat. Tapi jalan yang cukup layak berada di tengah. Di sisi kiri dan kanan jalan aspal semakin jarang. Sisa aspal justru membuat jalanan semakin berbatu. Semakin sulit dilalui hatchback apalagi bagi orang yang baru beberapa bulan memegang SIM.

"Di tengah wae, Ga."

Kembali, Angkasa mengikuti arahan Laras. Namun, baru saja menggerakkan kemudi sedikit ke kanan, ban belakang kanan terganjal sesuatu, lalu mobil terasa aneh.

"Ban kempes, La."

"Yah." Panik. Sambil berusaha melihat ban.

"Yang kanan deh sigana mah." Sepertinya ban kanan yang kempis. Angkasa memang baru memiliki SIM. Pengalamannya mengendara belum banyak.

"Yah." Semakin panik. Bergantian melirik ke bawah—ke ban—dan ke atas—ke hujan yang semakin deras. "Kumaha atuh?" Bagaimana ini? "Kamu sudah bisa ganti ban kan?"

"Sudah-lah." Angkasa bergerak ke belakang. "Seharusnya ada payung," ujarnya pada diri sendiri. "Nah. Ada. Aku ganti ban dulu ya." Dia melepas hoodie.

"Eh, mau ke mana?" Suara Laras terdengar terburu-buru. Diikuti dengan bergerak cepat ke belakang.

"Ganti ban." Payung yang dia pegang sudah mengarah ke luar, tangannya sudah memegang tuas pembuka payung.

"Nanti aja. Kalau sudah nggak hujan. Dia menarik kemeja Angkasa, melarangnya keluar. "Deras gini, kamu bakalan kuyup."

"Kan ada payung."

"Kamu tuh pintarnya kadang-kadang aja ya." Laras masih menarik kemeja Angkasa. "Kumaha carana coba ganti ban bari megang payung? Misal dina aku nu megang payung ge, nya angger weh urang teh bakal jibrug." Laras menggerutu panjang. Bagaimana caranya mengganti ban sambil memegang payung? Karena meski Laras yang memegang tetap saja mereka berdua akan basah kuyup.

Angkasa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Membuatnya membanting payung ke lantai. Lalu mereka duduk berdampingan menikmati hujan.

Tapi itu tak berlangsung lama. Kembali Angkasa bergerak membuka pintu tanpa sempat ditahan Laras.

"Eh, de naon?" serunya cepat menanyakan apa yang akan Angkasa lakukan sambil menarik kemeja Angkasa. Angkasa tak menjawab. Hanya menjulurkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Lalu kembali masuk.

"Benar, kanan depan nu kempes." Angkasa masuk secepat dia keluar lalu membanting pintu menutup kemudian mengibaskan air yang membasahi rambut. Menciprati Laras yang tidak peduli.

"Cuma mau tau itu aja?" Mendelik. Marah. "Sekarang kamu basah kan!"

Seperti orang yang bodoh, Angkasa melihat ke bajunya. "Hujannya deras banget ya," katanya sambil mengibas air yang masih menempel di kemeja flannel.

Membuang napas kasar, Laras mencari sesuatu di dalam tas. "Nggak bawa pula." Menggerutu. "Sudah, lepas aja bajunya, nanti masuk angin." Tangannya langsung terulur untuk melepas kancing kemeja. Angkasa diam saja tapi tangannya bergerak mempermudah Laras melepas kemeja. "Aku nggak bawa minyak kayu putih nih," gerutunya.

"Masa kena air kayak gitu aja langsung masuk angin sih, La," protes Angkasa. "Kayak anak kecil aja."

"Sudah. Pakai hoodie aja." Laras membantu Angkasa memakai hoodie. Membuat Angkasa tersenyum kecil. Seperti ibu yang memarahi bocah lelakinya yang nakal. "Lain kali," memasang ritsleting, "kalau mau ngapa-ngapain teh, mikir dulu," menarik kepala ritsleting, "apa gunanya tahu ban mana yang kempes, toh nggak bisa dikerjain sekarang juga. Tetap harus tunggu hujan reda ganti bannya." Kesal, dia menarik ritsleting lebih kuat. "Yah, copot..."

Akibat terlalu bertenaga menarik kepala ritsleting, kepala itu terlepas dari relnya.

"Makanya ... jangan ngomel mulu." Memajukan wajahnya ke arah Laras. "Kan bikin aku gemes." Dan tanpa sadar, dia sudah mengecup bibir merajuk Laras. Membuat Laras terbelalak ketika mengangkat wajah. Namun bukan wajah menyeringai jahil yang dia lihat di sana. Dia melihat wajah terkejut yang serius menatapnya dengan kilau tatapan khas lelaki kepada gadis. Sekejap Laras terlena dengan tatapan itu, dadanya mendadak bergemuruh, lebih ribut daripada gemuruh di langit, lalu ketika dia berhasil memalingkan wajah, dia melihat dada terbuka Angkasa. Dada remaja yang belum terbentuk. Tapi tetap terasa ada aliran lain yang mengguyur tubuhnya.

Langit di luar berteriak mengingatkan mereka berdua. Gemuruh halilintar menyambar tapi seakan tetap sunyi di dalam mobil. Kaca mobil mulai berembun. Tanda ada perbedaan suhu di dalam dan di luar mobil.

Dan ketika petir menyambar, Angkasa mengangkat wajah Laras di dagu dengan ujung telunjuknya. Membuat mata mereka kembali bertemu.

"La..." Matanya berkedip satu kali, entah apa maksudnya. Suaranya terdengar parau. Meminta izinkah? Atau mengajak? Tangannya bergerak menahan kepala Laras di tengkuk, sementara tangan Laras pun ikut berani membelai rambut Angkasa. Laras begitu menikmati helai-helai rambut Angkasa. Tak puas, jarinya menelusuri rahang dan tulang pipi pemuda itu. Merasai kontur wajah dengan indra perasanya.

Bibir Laras memang diam, tapi gemulai jemari di wajahnya membuat Angkasa makin kehilangan akal. Dia semakin memajukan wajah mendekat ke Laras. Laras yang diam membuat Angkasa semakin berani. Kembali, Angkasa lupa berpikir sebelum bertindak, tapi Laras pun sama. Saat hormon-hormon reproduksi mengusai tubuh-tubuh remaja mereka, otak menjadi kosong tidak berguna.

Bibir-bibir mereka kembali bertemu. Mulanya hanya menempel, tapi tak lama berubah menjadi kecupan ringan saling mencecap. Tangan pun ikut bekerja, merasai kulit satu sama lain. Mencengkeram menahan agar tidak ada yang menjauh. Merasai semua dengan semua indra.

Badai semakin menggila di dalam tubuh keduanya, sedahsyat hujan di luar sana. Badai yang terabaikan di tengah kecamuk gairah yang mendadak menggila.

***

Bersambung

Proses pembuatab Jagya nih. Uhuk!

Di Sudut-Sudut Hati [on going]Where stories live. Discover now