16, Aroma Maksiat

148 37 2
                                    

PEMILIK sepasang mata itu perlahan bergerak ketika melihat dua orang di bawah rumah bergerak terpisah. Yang satu ke atas rumah, yang satu lagi melewati pintu di bawah rumah. Dia merasa tugasnya sudah selesai. Toh dia tidak mendengar apa yang mereka bincangkan.

Saatnya melapor.

Dia menjalankan motor tanpa menyalakan mesin. Sudah jauh malam, dan jalan dusun itu sudah sangat sepi. Seratus meter dari tempatnya tadi mengamati, barulah dia menyalakan mesin lalu bergegas pergi.

Tak ada yang dia laporkan pada Gun kecuali lokasi akhir perjalanan mobil tadi. Apa pentingnya info soal gadis kecil yang bergelayut menyambutnya dan gadis manis yang menemaninya berbincang? Tapi tetap saja, hal itu pun dia laporkan pada Gun.

Semua Gun catat dalam kepalanya termasuk nomor polisi mobil anak itu. Dia akan melaporkan semua pada bosnya.

"Oke, cukup untuk malam ini, Wan," ujarnya sambil menyeruput kopi. "Besok-besok lu cari tau lagi rumah siapa itu."

"Oke, Bos. Besok gue ke TKP lagi."

"Jangan besok, b*g*. Nanti lu ketauan. Besok-besok."

"Besok-besok tuh kapan? Yang jelas kalau kasih perintah."

"Ck. Besok-besok itu kapan aja asal jangan besok."

"Tahun depan?"

Gun menoyor Iwan. "Kelamaan."

"Ya makanya yang jelas kalau kasih perintah."

"Lusa. Kalau nggak tiga hari lagi." Gun pasrah. Hanya Iwan anak buah yang bisa dia percaya meski agak bahlul. Kesal, dia pergi begitu saja meninggalkan Iwan sambil melempar ke meja beberapa lembar rupiah pecahan terbesar. Iwan langsung mengambil dengan kecepatan super dan seringai puas.

Masih terlalu malam untuk melapor meski hanya ke asistennya saja. Besok saja. Mengingat itu, dia meneguhkan hati melanjutkan perjalanannya ke arah tempat dia biasa membuang hajat. Satu-dua celup untuk menghangatkan malam. Mengingat itu, dia menambah kecepatan motornya.

***

Keesokan harinya, di pagi menjelang siang, dia melaporkan hasil kerja Iwan pada sekertaris bos. Dia memberikan lokasi dan nomor polisi mobil. Lalu meski sang sekertaris menyuruhnya pergi tapi dia tetap menunggu. Santai, Gun keluar dari ruang itu. Ruang tunggu sebuah kantor mewah. Apalah dia hanya alas kaki di komunitasnya yang tak mungkin menunggu di tempat seperti itu sambil cuci mata melihat sekertaris cantik bertubuh molek dengan pakaian yang kekurangan bahan. Dia tetap mengikuti perintah, pergi tapi menunggu. Dia menunggu di ruang tunggu supir. Hanya ruang sederhana di basement tapi cukup nyaman karena berpendingin udara. Area merokok ada di sebelah. Tapi saat ini dia hanya ingin melanjutkan tidurnya. Tidur atau merokok? Setelah memutuskan tidur, dia memilih tetap di tempatnya lalu meluruskan punggung di tiga kursi kosong yang berjajar.

Sebelum nyawanya berpindah alam, dia merenung. Kenapa bisa dia ditugaskan mendekati Tristan? Anak yang dia tahu sudah bersih dan dia tidak mau mengutak-utiknya lagi meski Tristan adalah sumber penghasilan yang menyenangkan. Belum selesai lamunannya, dia sudah berpindah alam.

***

Di atas sana, sang sekertaris sudah melacak nama pemilik nomor kendaraan itu. Fabian Samudra. Nama yang sama yang tertera sebagai pemilik lokasi. Dia memberikan data itu pada personal asisten bosnya. Biar asisten yang menentukan penting tidaknya berita yang dia bawa.

Melihat nama yang tertera di sana, sang asisten tersenyum miring. Melirik jam, masih dua atau tiga jam lagi bosnya bisa dihubungi. Sebenarnya dia bisa sekarang menginterupsi apa pun yang bosnya lakukan kecuali saat bosnya buang hajat. Dia tahu, info di tangannya info penting yang bosnya tunggu. Penting tapi masih bisa menunggu.

Di Sudut-Sudut Hati [on going]Where stories live. Discover now