47, Menyerah

104 37 12
                                    

"Jangan tinggalin aku. Sakit, Na."

Lepas mengatakan itu, Angkasa memutuskan sambungan. Jantungnya berderap tak beraturan karena dua hal. Kenekatannya mengatakan itu dan kenangan yang mencabiknya sampai menjadi potongan kecil. Hancur.

Dia menarik rambut lebih keras dan menunduk lebih dalam. Kesendirian ini membebaskan tapi sekaligus menakutinya.

Jantungnya masih berdetak tak teratur. Bahunya juga naik turun tak teratur mengimbangi tarikan napas yang kasar. Dia sedang berusaha meredakan badainya sendiri. Badai yang dia ciptakan sendiri.

Aku menyerah.

Seperti dia yang takut dengan aku yang kembali menggila, aku pun takut kembali sendiri.

Mungkin memang semua lebih baik diakhiri sebelum mereka melangkah terlalu jauh, sebelum perjalanan ini terlalu jauh untuk kembali berbalik arah.

Sakit itu masih terasa. Dadanya terasa perih, tapi tangannya hanya dua dan sudah dia pergunakan untuk menarik keras rambutnya, berharap semua kenangan itu ikut tertarik keluar.

Masih dengan tubuh hanya terlilit handuk di pinggang, tubuhnya bergetar hebat. Dia ingin mengeluarkan sakit itu. Perlahan dia mengangkat wajahnya sampai wajah itu terlihat di cermin. Hanya wajah datar dengan ekspresi kaku. Rahangnya mengatup erat. Matanya menatap lurus ke dalam pantulannya sendiri.

Lalu tanpa sadar dia memukuli dadanya dengan kepalan tangan. Kenapa semua harus kembali? Kenapa gadis itu selalu saja bertanya hal yang sama?

Tak ada baju untuk dia rengut di dadanya. Dia ganti mencakari dada itu. Berusaha merengut keluar semua yang menyumbat jalan napas.

Ini masih terlalu sakit.

Berdiri, dia harus bergerak. Dia membiarkan handuknya jatuh teronggok di lantai. Dia polos seperti bayi yang baru lahir. Beberapa saat dia melihat dirinya yang polos. Diam terpaku di depan cermin.

Perlahan dia membalik badan, tidak ingin lagi melihat dirinya sendiri dan berjalan ke arah sembarang dan itu ke arah ranjang. Dia membanting bokong sampai nyaris memantul-mantul lalu pantulan itu membuat tubuhnya jatuh terlentang dengan kaki tertekuk.

Napasnya masih menderu ketika tangannya bergerak dan ternyata terarah ke miliknya.

Aku butuh pelepasan.

Dengan kondisi batin yang berantakan, sulit baginya mencapai puncak, namun dia terus berusaha. Dia memaksa miliknya menggeliat dan terus menggodanya. Susah. Dia tidak pernah merasa sesulit ini. Tapi dia tidak mau berhenti. Dia benar-benar butuh pelepasan.

Sampai satu titik dia merasa mulai mendaki, dia mempercepat gerakannya. Lalu teriakan putus asa mengisi ruang kosong itu.

Bukan teriakan puncak kenikmatan. Ini benar-benar sebuah pelepasan.

Lelah, dan semakin lelah. Dia membiarkan dirinya tetap di posisi semula. Terlentang dengan kaki tertekuk di tepi ranjang. Dia tidak peduli ke mana benihnya terhambur. Dia membiarkan semua mengalir apa adanya. Sampai dia lelah dan terlalu lelah untuk tetap sadar. Dia jatuh tertidur dengan mimpi buruk yang dulu selalu menemani tidurnya, membawanya ke mimpi buruk yang lain yang sekarang sangat ingin dia tinggalkan. Dengan dia tetap sendiri.

***

"Halo? A? Halo?"

Jangan tinggalin aku. Sakit, Na.

Kalimat itu berulang ketika dia memastikan sambungan masih terhubung. Nana tentu tidak tahu apa yang terjadi di seberang sana di ujung sambungan.

Namun, menyadari sambungan terputus di saat yang tepat, mendadak jantungnya berderap.

Di Sudut-Sudut Hati [on going]Where stories live. Discover now