145, Rendezvous [1]

100 33 12
                                    

Tidak ada yang menunggu suara pintu terbuka tanpa ketukan sebelumnya. Ketika pintu terbuka, semua mata langsung menoleh ke arah pintu.

Angkasa berdiri sesaat di ambang pintu. Empat orang masih terkejut, yang dua terperangah, ketika Angkasa berjalan mendekat. Aurora mengekor beberapa langkah di belakang Angkasa.

"Dirga..." bisik Laras.

"Mana anakku, Laras?" Dingin.

Laras mendelik sempurna

Udara mendadak tak beroksigen. Pendingin udara terasa mendadak mati. Panas dan menyesakkan.

"Den Angkasa..." Si Ibu menoleh ke arah Angkasa dan anaknya bergantian. "Kenapa...?" Pertanyaan itu hanya menggantung di rongga mulut. Terabaikan Angkasa.

Dia masih berdiri di depan Laras yang hanya mendongak menatapnya. Seperti hamba yang menatap takut majikannya.

"Aku sudah tau semua, Laras. Aku bodoh sekali kalau tidak bisa mengenali darah dagingku sendiri. Aku memang bodoh tapi nggak sebodoh itu."

"Apa undangan ini jebakan?" tanya Laras cepat pada Fabian.

"Jangan mengalihkan perhatian. Urusan kita tidak ada sangkut pautnya dengan Fabian."

"Ibu Drupadi, maaf. Soal hubungan Jagya dan Angkasa, tanpa itu pun saya tetap mau kita ketemu." Fabian mencicit cepat.

"Kenapa kamu nggak pernah bilang kalau kamu hamil?" Angkasa tidak memberi waktu pada Laras untuk menanggapi Fabian. "Apa dari awal kamu bohongin aku? Apa kamu bohong bilang kamu masih haid?"

Fabian dan Ari sudah berdiri di dekat Angkasa, bersiaga. Perempuan-perempuan mereka bersembunyi di bawah bayangan lelakinya.

"Kenapa kamu pergi, Laras?" cecar Angkasa. "Apa salah aku?"

Merasa menjadi tersangka, tertuduh, dan terdakwa sekaligus, Laras kehilangan kata. Tatapan tajam Angkasa semakin membuatnya hilang akal.

Tidak ada lagi Dirga kekasihnya yang berwajah polos yang menatapnya penuh cinta. Saat ini yang di depannya hanya ada lelaki matang berwajah kaku dengan tatapan terluka marah.

Sunyi.

Bahkan embusan udara dari penyejuk udara terdengar jelas. Semua mata menatap Laras. Bergantian menatap Angkasa yang jiwanya masih melayang entah ke mana.

Hening.

Tidak ada yang berani memecah keheningan ini. Semua beku di tempat masing-masing. Takut setiap gerakan kecil akan mengakibatkan pecahmya gelembung keheningan di ruangan ini.

Sampai akhirnya Ari bergerak, mengarahkan Angkasa duduk di sofa.

"Ang, ini Ibu Drupadi." Fabian memperkenalkan Laras kepada Angkasa. "Istri pendonor hati untuk Dinda." Sesuatu yang tidak perlu karena Angkasa sudah sangat mengenalnya.

Tapi Angkasa masih berdiri terpaku. Dia masih berusaha mengumpulkan jiwanya yang berserakan dan memorinya tentang Laras yang tercecer di masa lalu.

"La..." Setelah beberapa saat, akhirnya Angkasa kembali. Satu kata yang dia ucapkan, menambah keheningan di ruang gelisah. Semua diam. Membeku menanti kalimat meleleh dari bibir seorang Angkasa. Wajahnya menyiratkan kesakitan. Terulang lagi seperti ketika Nana pergi tak kembali.

Ari menarik meja menjauh lalu meletakkan sebuah kursi kerja tepat di belakang Angkasa.

"Dua puluh tahun lalu kamu pergi. Aku habiskan waktu untuk cari kamu. Sepuluh tahun aku nggak percaya kalau masih ada cinta tersisa untukku. Sampai akhirnya Nana datang, mengembalikan semuanya. Bahwa aku masih layak untuk memiliki cinta."

Di Sudut-Sudut Hati [on going]Where stories live. Discover now