137, The Caption

108 34 20
                                    

Kembali ke pantri mungil di flat kecil.

Keduanya makan seperti orang hidup segan, mati mungkin lebih baik.

Pertanyaan Angkasa terabaikan Fabian yang melamun begitu dalam.

"Hah?" Berwajah bodoh.

"Dulu lu beneran kasih dia uang? Laras mau terima?"

"Oh." Dia mendengus. "Gue paksa. Gue bilang, kalau pun dia nggak mau terima, uang ini nggak akan masuk kantong gue lagi. Barang yang sudah diniatkan untuk sedekah pantang masuk kantong sendiri. Sedekah ke diri sendiri dong."

Fabian berusaha mengerti arah pertanyaan angkasa dan menjelaskan sedetail mungkin.

"Kalau dia nggak mau terima, gue akan cari orang lain yang layak. Gue akan cari janda dan yatim lain. Daripada buat orang lain, mending buat anak Ibu. Biar Ibu tenang nyekolahin dia, meski dia anak yatim."

Angkasa mendengus kasar.

Menghina? Tapi tak lama wajahnya terlihat bersedih. Terluka? Napasnya menderu lagi. Dia membanting sendok.

"Gue mampu banget ngurus anak gue."

"Gue nggak tau itu anak lu, Ang. Sumpah." Fabian mengangkat dua jari tangan kanan. "Gue nggak perhatiin anak itu. Gue fokus ke si istri. Dia harus mau tanda tangan." Fabian pun membanting sendok. Nasi padang porsi take away masih belum setengahnya termakan.

"Waktu itu dia gimana?"

"Dia siapa?"

"Laras."

"Ya seperti keluarga berduka lain. Awalnya dia nggak mau. Gue mohon-mohon sambil nangis. Padahal waktu itu gue belum tau hepar suaminya cocok apa nggak sama Dinda."

"Apa yang bikin dia akhirnya mau?"

"Nggak tau. Waktu itu gue kambuh."

"Kepala lu sakit lagi?"

"Iya."

"Lalu?"

"Gue berusaha bertahan. Dia harus bilang iya sebelum gue ambruk. Rey sudah mau tarik gue ke IGD."

Tubuh Angkasa menegang.

"Lalu?"

"Rey bantuin ngerayu."

"Lalu?"

"Dia ngelihatin Rey, lalu dia ngangguk."

Angkasa membanting punggung ke sandaran kursi sampai kursi itu terdorong ke belakang. Pun Fabian. Dia baru menyadari apa yang membuat Laras mengangguk.

"Dia masih ngenalin Rey." Kesimpulan Angkasa.

"Jadi transplantasi itu bisa terjadi karena Laras ngenalin Rey sebagai adik lu?"

Angkasa mengangguk.

"Ya Tuhan...." Fabian menarik keras rambutnya. "Itu juga alasan dia nggak mau terima uang itu?"

"Mungkin."

"Sampai akhirnya dia mau terima?"

"Gue nggak tau. Mungkin omongan lu kena ke dia."

"Omongan apa?"

"Biaya sekolah anak gue." Angkasa, sejak tahu Jagya anaknya, langsung mengklaim anak itu sebagai anaknya. Tidak pernah menyebut kata anak itu tapi langsung anak gue. Anak aku. "Suaminya kerja apa?"

"Kurir ekspedisi. Lagi kerja, motornya keserempet lalu nabrak kontainer, mental ke trotoar. Cedera kepala berat. Makanya bisa jadi pendonor karena bagian badan nggak luka."

Di Sudut-Sudut Hati [on going]Where stories live. Discover now