107, Serba Salah

116 34 2
                                    

"PAPAAAA...." Dua tubuh mungil langsung menabraknya ketika Fabian melewati ambang pintu.

Dia yang memang sudah bersiap dengan serangan mendadak ini langsung memasang kuda-kuda memastikan pijakan kakinya kuat. Dua anak itu langsung bergelayut di lehernya dan tak lama mereka sudah memanjat tubuhnya dan berakhir di kiri kanan pinggangnya. Meski nyaris terjengkang, Fabian tetap terbahak lepas.

Tak lama Rey muncul. Masih membiarkan dua anak hinggap di pinggangnya, Fabian mengecup pipi Rey. Rey langsung berusaha mengambil salah satu dari mereka.

"Jangan dua-duanya di Papa begitu. Papa kan capek. Kalian itu tambah berat loh." Tapi tidak ada yang mau melepaskan diri dengan suka rela.

"Biarin aja, Mama. Mumpung Papa masih kuat gendong. Lima tahun lagi sudah nggak kuat nih." Dia berjalan ke arah kamar. "Kalian sudah makan kan?"

"Sudah dong. Biar Mama nggak berisik."

Fabian tergelak makin lepas. Rey mendelik sempurna.

"Papa mandi dulu ya. Baru kita main."

"Yeayy..." Seperti itu pun mereka sudah bermain dengan tubuh ayahnya. Mereka meluncur turun, membebaskan Fabian yang langsung ke kamar mandi sementara Rey menyiapkan pakaian ganti.

Tak lama dia sudah menyusul istri dan anaknya ke ruang tengah. Di sana lego sudah terhambur.

"Ian nggak makan dulu?" tanya Rey ketika Fabian langsung asyik bermain.

"Ambilin aja, Rey."

"Papa," salah satu anaknya bersuara. "Nad suruh sekolah di tempat kita aja sih."

"Jauh banget dari rumah Nad."

"Nad suruh tinggal di sini aja. Kan jadi dekat tuh."

"Lalu Papa Angkasa sama siapa?"

"Suruh ke sini juga aja. Sekalian Ndo."

"Nanti rumahnya siapa yang jagain?"

"Suruh Papa Ari aja."

"Kalau begitu ya gantian, rumah Papa Ari nggak ada yang jagain."

"Kan ada Mama Dee."

"Loh, Bang Bumi mau pisahin Papa Ari dan Mama Dee?"

"Lagian kenapa sih rumah harus dijagain?" Kali ini Tari bersuara. "Rumah kan besar, kayak anak kecil aja dijagain. Rumah kan nggak bisa jalan-jalan, nggak bakal nyasar."

"Hhmm ... iya juga sih." Fabian memasang muka berpikir.

Saat itu Rey datang dan Fabian langsung membuka mulut tanda minta disuapi. Tanpa kata, Rey melakukan itu. Ini seperti sudah menjadi job desk-nya.

"Kalau hujan, lalu rumahnya bocor, gimana?" Rey langsung masuk ke kegilaan itu.

"Bocor aja sih dipusingin. Kan tinggal tambal. Ada tambal ban dekat rumah Nad. Rumahnya juga nggak akan hanyut. Kan bukan kapal."

"Sudah, sudah. Nggak akan selesai urusan rumah kalau dilanjutin." Fabian menengahi debat absurd itu. "Intinya, Nad nggak bisa sekolah bareng kalian."

"Ya itu dia, kenapa?"

"Terserah kalian mau pakai alasan apa. Cari sendiri aja."

"Huu..." Dua suara mengeluh panjang. Tertutup ketika Rey menyuapi bibir-bibir mencucu itu. Lalu permainan berlanjut tanpa pembahasan itu lagi.

***

Sudah makin malam. Fabian dan Rey keluar bersamaan dari masing-masing kamar anak-anak mereka. Tersenyum, Fabian menjulurkan tangan mengajak Rey ke kamar mereka.

Di Sudut-Sudut Hati [on going]Where stories live. Discover now