Chapter 4: New York(3)

2.8K 182 7
                                    

Gwen Syareefa Putri POV

New York, Amerika. Pagi yang tidak terlalu dingin seperti beberapa hari yang lalu. Hari ini hari terakhir gue berada di sini. Nanti malam pukul sebelas lebih tiga puluh menit gue dan Hayyan harus terbang ke Jakarta. Kota dimana rumah gue berada.

"Yah kak, beberapa jam lagi kita udah harus balik nih," kataku sedih.

"Hm... begitulah," katanya dengan mengangkat bahu tak acuh.

"Sedih deh, cepet banget. Baru kemarin juga boro-boro udah mau pulang aja. Oh ya, dad lagi ke kantor gak ya?"

"Lagi di apartement mungkin. Samperin yuk."

"Ide brilliant noh. Capcuuuusss... " kata gue dengan enjoy. Pagi ini gue udah menelan beberapa butir yang berada di tabung kecil itu. Berharap untuk hari ini tidak ada serangan yang selalu datang tiba-tiba.

Tok tok tok... kemudian tidak lama terdengar pencetan password. Dan pintu terbuka.

"Oh anak dad. Masuk yuk, kalian mau makan apa? Belum sarapan kan? Dad buatin ya?" Dan langsung dihadiahi jawaban 'MAUU...' dari gue dan Hayyan. "Wah... wahh.. anak dad kompak banget," katanya sambil menuju dapur.

"Dad, hari ini aku sama Hayyan boro-boro mau pulang. Masih pingin di sini dad," rengekku kecil sambil mengekorinya menuju dapur.

"Ya kalau liburan kesini lagi Gwen, atau liburan ke tempat lain?"

"Dad baik banget sih. Boleh ya? Gwen sih mau nya ke Paris, Praha, kayaknya di sana juga banyak tempat yang keren-keren."

"Praha? Bagus loh di sana. Kok mau nya di tempat yang romantis sih Gwen? Punya pacar ya? Wah anak dad udah gede ternyata," katanya sambil memasukkan beberapa bumbu yang tercium harum banget. Bikin perut makin teriak-teriak minta di kasih makan. Sedangkan Hayyan asik lihat TV di ruang tengah.

"Daaaad... belum waktunya tau, aku sering baca kalau di Praha itu bagus. Landmark nya juga asik deh kayak nya."

"Umm.. boleh aja kalau papa. Nih makan dulu, mumpung masih panas," katanya sambil menyodorkan sebuah piring berisikan Lasagna. Ngomong-ngomong ke inget mom deh. "Hayyaaann.. buruan makan masih panas loh enak," teriak dad.

"Dad," kemudian dad menaruh piringnya di lantai. Ya, di sini tidak ada ruang makan. Dad hanya memesan ruangan dengan ukuran kecil. Kurasa karena hanya di tempati sendirian dan tidak perlu terlalu besar bukan? Yang ada nanti malah membuang-buang uang. Melihat dad yang menaikkan satu alisnya membuatku teringat akan kataku. "Waktu Hayyan baru pulang ke Jakarta, mom memasak lasagna loh. Enak banget deh, ngalahin chef-chef yang ada di hotel berbintang," kataku menggebu-gebu.

"Beneran? Wah dad nyesel dong gak di rumah. Tapi lasagna dad tetep enak kan?"

"Enak kok dad, gak buruk," kata Hayyan tiba-tiba dan ku jawab dengan anggukan ringan tiga kali.

"Ya, setidaknya dady mu ini bisa memasak lah. Walaupun rasanya stardar saja tapi lumayan."

Kemudian hening terciptakan. Hatiku mulai gelisah, keringat dingin sedikit menetes. Apa serangan akan terjadi? Ku mohon jangan saat ini, ada Hayyan dan dad. Mereka tidak boleh tahu. Tolong dadaku saat ini berkompromilah dengan ku.

Setelah makan, gue pun yang membersihkan piring-piring maupun gelas. Rasa sakit itu muncul, badan gue lemas hampir tidak bisa menopang tubuh. Untung saja ada kursi tinggi dan gue segera duduk dan mengambil tabung kecil itu di saku celana dan menelannya beberapa butir berharap agar cepat reda.

Gue tepuk-tepuk dada gue, ingin sekali menangis tapi ini bukanlah tempat yang tepat. Gue gak boleh terlihat lemah di hadapan mereka. Gak boleh ada satu orang pun yang tahu tentang ini kecuali gue dan tuhan. Telapak tangan udah basah. Rasa pusing mulai berkunang-kunang namun gue usahain agar tetap bertahan.

Beautiful LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang