Chapter 15: Salah Perkiraan

1.9K 109 0
                                    

Gwen Syareefa Putri POV

Hari berjalan begitu cepat, itu yang gue rasakan. Lusa gue akan operasi. Setiap malam gue gak bisa tidur, selalu mikirin 'apa akan berhasil?'. Namun Hayyan juga pulang ke rumah, dia ijin untuk gak masuk kuliah dan diperbolehkan. Katanya dia akan menemani gue.

"Dek, ngelamun aja lo! Ikut gue yuk!" Ajaknya sambil memakai jaket abu-abu.

"Kemana?" Tanyaku yang sedari tadi nonton drama korea di ruang keluarga.

"Gak usah kepo, ikut aja." Dan tada... gue ngikutin dia.

"Tunggu, gue ganti pakaian bentar." Kemudian dia hanya mengangguk dan menuju garasi (sepertinya) mengambil motor.

Lagi-lagi bunyi deruman motor terdengar, dan yakin itu motor Hayyan.

"Kak, gimana? Gak salah kostum kan?" Tanya gue sambil memperlihatkan kaos panjang dan celana yang gue kenakan. Kaos berwarna tosca lengan panjang, dan jeans hitam. Rambut gue, gue urai.

"Gak, cuman mau santai-santai doang." Dan gue segera mendaratkan pantat. Memakai helm, yang sebenernya gue gak suka pakai helm. Lebih tepatnya gak tahan.

**

Angin berhembus pelan, namun mata gue sekarang dimanjakan oleh keagungan Tuhan. Indah, keren, dan... entah apa lagi. Speechles gue lihat pemandangan sekeren ini. Pantai berjajar luas, namun sepi. Ombak berdebur dengan semangat, dan rembulan ditemani banyak bintang.

"Kak Yan... ini keren!!!" Teriak gue masih di atas motor sambil memeluk erat dari belakang.

"Sakit oon!" Sanggahnya masih dengan menyetir. Kemudian memarkirkan motor tak jauh dari tempat duduk gue.

"Kak, ini gak ada duanya!" Seru gue masih terkagum-kagum. "Tahu tempat beginian dari mana lo? Ah... tapi sering dong ya bawak cewek ke sini?" Goda gue sambil memainkan alis.

"Ngaco ah lo! Salah besar, lo orang pertama yang gue ajak kesini." Ucapnya sinis, namun matanya menatap lekat rembulan penuh itu.

"Makin sayang gue sama lo," gue juga ikut menatap rembulan itu, namun terkadang juga menatap bintang yang bertebar. Indah.

Hening, hanya suara deburan ombak yang terdengar. Hayyan dan gue tak ada yang berkata. Sampai akhirnya,

"Dek," panggil Hayyan kecil.

"Hn...,"

"Kenapa lo gak bilang dari awal kalo lo sakit?" Gue tertegun, entah mau balas perkataannya apa. "Andai aja lo bilang dari awal, mungkin lebih banyak orang yang di deket lo. Lo gak sendirian berjuang, tapi apa? Lo egois!" Gue menunduk dalam, namun berusaha untuk nenahan air mata yang akan jatuh.

"Lo egois! Waktu udah semakin deket, dan lo...." gue udah gak kuat, dan menghambur memeluknya. Terisak pedih, gue akui gue bodo selama ini.

"Maaf."

"Maaf untuk apa? Semuanya udah dijalanin."

"Gue emang bodo, egois, ceroboh. Gue tahu, gue gak mikirin perasaan kalian. Gue cuman mikirin diri sendiri. Gue gak mau kalian khawatir, cukup gue sendiri."

Yang terdengar jelas sekarang Hayyan berkali-kali menghembuskan napas berat. Kemudian membalas pelukan gue, mendekap erat. Menaruh kepalanya di atas kepala gue.

"Semua udah terlanjur, gak perlu disesali." Gue masih terisak, takut akan kehilangan. Mereka.

Sampai akhirnya gue melepaskan pelukan, kembali menatap rembulan. Dalam hati melantunkan doa dan yakin Tuhan mengabulkan. Kemudian menghembuskan napas berat, berusaha dengan keluarnya karbondioksida itu masalah gue juga sedikit hilang. Namun salah, tetap saja tak berubah.

Beautiful LieWhere stories live. Discover now