06 : Chaos heartbreak

43 6 0
                                    

Minggu pagi.

Aku yang semula tengah tertidur perlahan-lahan terbangun. Kedua alis mataku bertaut, rasanya matahari pagi langsung memaparkan sinarnya tepat ke wajahku. Aneh sekali. Perasaan tadi malam aku tidak membuka tirai jendela, seharusnya sinar matahari tidak bisa masuk ke kamarku sebebas ini.

Aku merutuk. Padahal niatnya aku ingin bangun siang karena tubuhku lelah sekali. Sudah lama aku tidak mendapatkan tidur yang cukup. Tetapi gara-gara sinar matahari sialan ini aku terpaksa harus ditarik dari alam tidurku pagi-pagi begini.

Mau tak mau, perlahan aku membuka matanya, dan aku langsung mengernyit. Benar-benar tidak ada yang bisa menyaingi silaunya matahari pagi. Aku mengembuskan napas lelah. Di saat diriku sedang merutuki paginya yang konyol ini, nun ditengah kekesalanku aku tiba-tiba mendengar suara tawa.

"Selamat pagi, sayang." sapa seorang perempuan dengan rambut bergelombang yang tergerai sempurna menutupi punggungnya. Ia tersenyum, "Bunda?" Aku berucap dengan senang langsung mendudukan tubuhku yang semula tertidur.

"Sejak kapan?"

"Tadi malam, tadi malam Bunda pulang. Kau rindu?" Aku mengagguk antusias; akhirnya setelah dua bulan lamanya aku tinggal seorang diri dengan Kakakku yang sebenarnya jarang pulang. "Lekas mandi lah. Bunda akan memasak untuk sarapan."

── ⋆⋅☆⋅⋆ ──

Aku keluar kamar dan melihat teh Earl Grey sudah disiapkan di atas meja. Terdengar suara gelintingan piring dan gelas di dapur. Bunda pasti masih melalui sesuatu di sana, begitu batinku, lalu menarik kursi dan duduk. Aku menatap secangkir teh yang masih mengepulkan uap, tangan tidak tergerak menggapainya. Mungkin masih terlalu panas, aku membatin. Dihelanya napas.

Aku menatap ke halaman depan melalui jendela yang dibiarkan terbuka. Sejak kapan diriku menjadi lebih sering mengatakan sesuatu dalam pikiran?

Barangkali diriku setahun lalu akan membuka pintu kamar dengan kasar, meneriakkan, 'selamat pagi!' pada debu-debu yang menempel di televisi, dan mengomel seenaknya selama perjalanan ke ruang makan; mengenai mimpi semalam, mengenai bebannya hari ini, mengenai surat kabar langganan yang datang terlambat ... mengenai apa saja. Itu berisik, tapi dia merindukan diriku yang berisik.

Bunda keluar dapur membawa piring berisi kentang goreng. Aku memandang. Mungkin Bunda terkejut melihatku sudah ada di sini, hanya saja ia tidak memperlihatkannya. Diletakkannya sepiring kentang itu, dan Bunda menarik kursi, duduk di seberangku. "Sudah mandi?" Aku mengagguk. "Cepat sekali?"

"Sengaja." Aku meraih cangkir teh lalu menyeduhnya dengan pelan dan hikmat. "Kakakmu masih jarang pulang?"

"Masih, seperti biasa. Bahkan sudah satu minggu dia tidak pulang ke rumah aku sudah menelponnya tapi dia malah menolak panggilan tersebut." Bunda mengagguk, "ya, sudah. Lanjutkan sarapannya."

── ⋆⋅☆⋅⋆ ──

[ FLASHBACK START : Yeonjun and Juhee at 12 y.o ]

"Peraturan bersepeda nomor satu, kau harus tenang."

Gadis berambut cepak itu mengangguk penuh perhatian. Matanya sarat dengan kesungguhan. Yeonjun berdehem, mendadak gugup saat mata sang gadis menatap intens padanya. Aduh, sial. Kenapa Juhee harus memandang seperti itu, sih? Yeonjun menggeleng pelan, mengalihkan matanya pada sepeda di depannya.

"Kau pegang setangnya seperti ini."

Yeonjun melakukan gestur itu. Juhee mengamati. "Dan saat kau duduk di sadelnya—"

"Peraturan nomor dua, fokus, Juhee. Fokus!" Minjeong menginterupsi. Yeonjun menoleh pada kawan berambut ikalnya itu dengan gusar karena telah disela. Ia mengiyakan saja, saat Juhee mengerjapkan mata padanya.

Yeonjun sudah hampir membuka mulut lagi, saat dari sisi lain, Beomgyu yang sedang duduk di sepedanya sendiri, mulai bercoleteh soal keamanan berkendara. Sesekali, Minjeong menimpali dengan bersemangat tentang bahaya bersepeda sendiri terutama di malam hari. Beomgyu juga ikut menginterupsi tentang suplai energi yang diperlukan untuk mengayuh sepeda, terutama jika kau membonceng seseorang.

Dan saat Juhee memalingkan wajahnya pada dua orang itu, sempurna teralihkan perhatiannya; Yeonjun diam-diam melengkungkan bibir. Kesal. Ia melihat pada pola paving carport di bawah kakinya, seolah-seolah salah merekalah Juhee mengabaikannya. Tentu batu tidak bisa menjawab (dan jelas bukan salah mereka, jika lalu ia dinomorduakan). Mengerucutkan bibir, Yeonjun mempertimbangkan untuk

"Yeonjun-ah, mau mengajariku?"

Wajah Yeonjun terangkat cepat.

Kekesalannya menguap.

Bagaimanapun, bagi Juhee, dialah nomor satunya. Sembari menyunggingkan cengiran lebar tak tertahankan, Yeonjun mengangguk dan menawarkan sepedanya sendiri.

Juhee tersenyum.

[ FLASHBACK ENDED ]

"Berhentilah bergelung di dalam selimut seperti itu." ucap Beomgyu yang merasa jenuh melihat pemandangan tak mengenakkan. Sudah sejak 15 menit setelah Yeonjun bangun dari tidurnya. "Beomgyu-ah, aku ditolak."

"Iya aku sudah tahu, ayo cepat bangun dan mandi. Kau mau terus seperti itu sampai malaikat maut menjemputmu? Kau harus bangkit lagi."

"Padahal Yeonjun yang aku kenal tidak seperti ini—"

"Yeonjun yang kau kenal seperti ini, Beomgyu. Hanya saja dia menyembunyikannya." kata Yeonjun menyela.

"Yeonjun itu, lemah dan pengecut." ia menghela napasnya yang berat lalu semakin mengeratkan gulungan selimut tebal tersebut kepada tubuhnya. "Aku tahu akhirnya akan seperti ini, tapi mengapa ini menyakitkan sekali?"

"Hatiku terasa tercabik-cabik, tak terkira sakitnya."

"Arghhhhh kepalaku sakit!" Yeonjun menggerang dari dalam selimut, lalu ia melapskaan gulungan selimut dari tubuhnya. Dengan sigap ia menuangkan air untuk sahabatnya, lalu meletakkan semangka segar yang ia ambil dari dalam kulkas.

Yeonjun meminum habis airnya, lalu menyodorkan gelas kosong tanpa bicara. Minta diisikan air lagi.

"Mah minum pereda pengar?" Yeonjun menggeleng, "aku mau tidur saja." katanya sambil meletakkan gelas kosong tersebut ke atas nakas.

"Memang benar-benar tidak ada harapan." ucap Beomgyu menggelengkan kepalanya jenuh.

"Sulit sekali menyadarkan manusia patah hati satu ini."

── ⋅ ⋅ ── ✩ ── ⋅ ⋅ ──

[ EPILOG ]

Tit, Tit, Tit!

Gedubrak!

"Sialan apa itu?!" Beomgyu yang berada di dalam ruangan tersentak, meletakkan stik PlayStation miliknya lalu beranjak dari ruang tengah ke arah sumber suara. "Yeonjun?" bingung Beomgyu ketika dirinya mendapati Yeonjun yang sudah sepenuhnya tak sadarkan diri di depan pintu.

"Bedebah, sialan. Kau mabuk saja merepotkan." hujatnya sudah terlampau kesal.

"Biar kutebak, kau pasti habis di tolak oleh gadis itu."

"Kasihan sekali, sih." gumam Beomgyu yang sebenarnya sedang berpikir cara mengangkat Yeonjun dari sana.

Dan ketika dirinya sudah menemukan cara itu, dirinya bergegas untuk menyeret sang sahabat tercintanya supaya tidak masuk angin karena tertidur di atas lantai apartemennya yang dingin. Duh, dirinya ini memang baik dan pengertian.

"Astaga, sialan! Dia minum berapa botol, sih!?" Beomgyu bahkan sudah pusing duluan sebelum menarik tubuh Yeonjun dari sana.

dear sunshine, soobin ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang