20 : Beach and confession

27 4 0
                                    

SONG JUHEE

"Pantaiiiii!"

Butiran pasir mengintip di sela-sela jemari kaki Juhee yang telanjang, sejenak rasa gatal merayap naik sebelum kemudian lenyap dimakan sapuan ombak. Kecil saja, hanya mampir sampai sebatas mata kaki dan akhirnya kembali menarik diri ke tengah lautan. Juhee berlari-lari pelan di sepanjang bibir pantai, sengaja meninggalkan jejak meski tidak akan bertahan lama, merasakan bagaimana angin berhembus menyapu rambut dan kedua pipinya yang mulai terasa beku.

Yeonjun tentu mengekor di belakang Juhee. Terkadang kilat matanya yang berpendar dimakan warna senja itu akan memandang jauh ke batas cakrawala, seakan bias oranye gradasi lembayung terefleksi jelas di palet mata gelapnya. Terkadang dia akan mengerling Juhee diam-diam, lalu tanpa ragu mengulas senyum atau kekeh renyah ketika didapatinya Juhee berteriak tidak jelas begitu gulungan ombak kembali mengejar.

Yang dipanggil menjauh sejenak dari bibir pantai, meminimalisir air laut menyentuh telapak kakinya, lalu mengangkat kedua alis. "Hm?"

Mulut Yeonjun terbuka sesaat, tetapi lekas ditutup kembali dan tubuhnya statis barang beberapa detik. Ketika Juhee mendekat, Yeonjun berjongkok tanpa diduga. Satu lengan menggaruk tengkuk sementara tangan lain bertumpu pada lutut, dengus samar lolos dari bibirnya.

"Juhee-ah?" panggil Yeonjun, sedikit panik dan ikut berjongkok di hadapan pemuda itu. "Kenapa?" tangan kiri terulur. "Ada aapa—"

"Shhh!" pergelangan tangan Juhee berhasil Yeonjun tangkap, pun dengan bibir yang lekas Yeonjun bungkam dengan jari telunjuk dan jari tengah, meminta Juhee diam. "Kau bawa kapur?"

"Hah?"

"Kau bawa kapur tidak?"

"Tidaklah! Kau pikir untuk apa aku bawa kapur ke pantai?"

"Oke, oke, sorry."

Cekalan di pergelangan tangan Juhee belum lepas, tetapi jemari Yeonjun yang bebas bergerak ke arah permukaan pasir di antara pijakan mereka. Juhee tenang memperhatikan, belum mau bertanya saat Yeonjun nampak sibuk menulis beberapa huruf hangeul meski terlihat acak dan bergerigi di atas pasir. Tak sampai lima menit menyentuh, Juhee sedikit bisa membaca kata per kata yang Yeonjun tulis.

My blue ocean

Berhenti sampai sana, Juhee mendongak, "eung?"

"Ini hanya sebuah lirik lagu, yang aku lupa judulnya." sahut Yeonjun, baru sadar masih mencekal lengan Juhee dan segera dia lepaskan.

"Juhee,"

"Ya?"

"Kau dan Soobin—"

"—pacaran?"

Masih ada suara debur ombak menemani hening mereka, diselip koak pelikan saling bersaut dan lenyap dengan cepat, atau warna oranye yang entah sejak kapan mulai habis dimakan biru dan ungu. Juhee menemukan mata Yeonjun, masih sama seperti ketika ia melihatnya kali pertama, hangat dan menarik dengan caranya sendiri. Tetapi juga sulit ditebak.

"Iya," sahut Juhee, setelah hening yang terasa satu windu lamanya.

"Maaf."

"Untuk?"

"Perasaanmu padaku. Aku tahu itu semua, Yeonjun." jemari Yeonjun mengepal perlahan. "Sejak kapan kau tahu?"

"Sejak malam kembang api. Kau menangis."

"Oh," merasa tidak ada penolakan, Yeonjun beringsut maju. Dia biarkan kedua lengannya meraup tubuh Juhee dan menenggelamkannya dalam satu dekapan ringan, tidak erat, tetapi pasti. Juhee juga tidak protes bahkan ketika Yeonjun menaruh dagu di puncak kepalanya. "Maaf karena aku sudah merusak persahabatan kita."

"Ini bukan salahmu, Yeonjun .."

"Tetap saja, aku merusaknya dengan perasaanku."

"Aku memang egois sekali."

Pelukan dilepas, Juhee memandang Yeonjun dengan sendu. "Lalu sekarang bagaimana?"

"Aku yang akan mengalah, berbahagialah dengan lelaki yang kau cintai."

Cengir Juhee terulas lebar, ia melemparkan diri ke arah Yeonjun dan memeluk leher lelaki itu tanpa perlu permisi dua kali. Yeonjun mengangkat tubuhnya dengan mudah, berpikir bahwa berat Juhee tidak seberapa.

"Lapar tidak?" tanya Yeonjun.

"Eung! Lapar!"

"Baiklah ayo kita makan."

"Turunkan aku duluuu!!!"

"Oh, iya. Aku lupa."

── ⋆⋅☆⋅⋆ ──

Pemuda bersurai hitam itu membuka kepala badut beruang tersebut, napasnya memburu, keringatnya bercucuran tak terkira. Ini adalah hari pertama Soobin menjadi maskot di festival pasar malam yang akan diadakan selama lima hari. Pekerjaan Soobin di sini adalah menghibur anak-anak dan juga membagikan brosur festival tersebut.

Hari kedua ia bekerja, adalah hari ketiga festival itu dimulai, cukup padat. Banyak sekali kumpulan pemuda dan pemudi yang berkumpul hanya sekedar untuk kencan malam hari.

Soobin segera mendudukan tubuhnya yang masih nerbalut kostum beruang itu, ia menarik napas panjang untuk melepas penat setelah hampir tiga jam berdiri dan bergerak tanpa istirahat.

"Soobin!!!" suara bersemangat dari tenda sirkus di depannya membuat Soobin segera mengalihkan perhatiannya. Dia seorang perempuan, rambutnya berwarna oranye. "Arin?"

Gadis itu tersenyum menghampiri Soobin, "oh, astaga~ aku tidak menyangka kita akan bertemu di sini." lalu gadis yang sejak tadi membawa sekotak susu rasa stroberi itu menyerahkan minuman yang ia miliki kepada Soobin. "Untukmu, kau pasti haus."

"Terima kasih,"

"Sama-sama."

"Ngomong-ngomong, kau sejak kapan bekerja di sini? Apa kau sudah tidak bekerja di kedai Bibi Kim lagi?"

Sambil menyeruput sekotak susu tersebut, Soobin mengeluarkan ponselnya. Ia mengetikkan jawaban di sana. "Padahal aku sudah bisa bahasa isyarat tahu." gumam Arin yang terdengar oleh Soobin di sebelahnya.

Soobin menoleh, "ah, benarkah? Maaf."

"Kenapa kau itu selalu minta maaf, deh? Tidak apa-apa, Soobin!"

"Ayo jawab saja pertanyaanku."

"Kedai Bibi Kim tutup sementara, jadi aku harus mencari pekerjaan sampingan. Dan kebetulan di sini ada pekerjaan yang baru saja kosong. Aku baru saja bekerja di sini hari ini."

"Ohhhh, jadi begitu." Arin mengagguk mengerti.

"Choi Arin!!!" Arin membulatkan kedua matanya, ia langsung saja bangkit ketika mendengar suara seorang pria memanggilnya. "Soobin maaf, ya. Aku harus pergi dulu!"

dear sunshine, soobin ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang