17 : December rain

20 4 0
                                    

Setelah kejadian saling menyatakan perasaan masing-masing, lima menit setelahnya rintik hujan mengguyur kami. Dan mau tak mau aku dan Soobin harus berteduh untuk sementara waktu.

Grep!

Mataku melebar, kulihan coat hitam milik Soobin sudah bertengger di tubuhku yang sudah bergetar kedinginan. Kedua mata Soobin memandangku panik. "Maaf, ya, kau jadi kedinginan begini .." dan malah meminta maaf atas kejadian yang bahkan bukan kesalahannya sama sekali. "Soobin apaan, sih? Tidak perlu meminta maaf!" Aku dengan gestur menolak memakaikan coat tersebut ke pemiliknya. "Tidak, Juhee. Kau yang membutuhkannya. Aku tidak apa-apa. Aku ini kuat!"

Aku tersenyum melihat Soobin yang masih saja tersenyum meski wajahnya sudah pucat pasi, dan tubuhnya juga mengigil kedinginan.

Soobin ini tubuhnya kelewat rapuh, aku tidak tahu penyakit apa yang di deritanya sampai-sampai bisa terus menerus sakit.

Masih dalam posisi saling menatap satu sama lain, jari-jemari Soobin tiba-tiba bergerak. "Aku bahagia, Juhee."

Aku terdiam dari posisiku, entah mengapa aku mendapatkan perasaan kelu saat membaca gerakan Soobin. "Aku bahagia, karena Tuhan sudah mengizinkan aku untuk mencintaimu dan juga menjadi lelakimu."

"Sampai kapan pun aku akan selalu mengingat ini, bahwa aku pernah mencintai sosok gadis manis dan kuat yang bernama Song Juhee."

"Dan jika pada akhirnya aku dan kau tidak di takdirkan untuk selamanya bersama. Setidaknya bagiku, cerita kita saat ini adalah rangkaian sajak-sajak paling indah dari segala puisi dan novel romansa yang pernah ada."

Oh, Tuhan aku ingin menangis.

Kalimatnya indah sekali.

Kedua manik cokelatku memandangnya dengan berkaca-kaca, betapa indahnya kalimat yang Soobin berikan. Meski ada rasa sesak di kalimatnya terakhir. Itu adalah kenyataan, kenyataan bahwa tidak semuanya akan ada di dalam takdir Tuhan.

"Soobin-ah," panggilku bergetar dan pemuda di depanku ini tersenyum. Ia menarikku dengan pelan, mengeratkan coat hitamnya lalu memelukku untuk mentransfer hangat tubuhnya. Sedangkan tangan kirinya di bawa untuk mengelus-elus kepalaku dengan lembut.

Soobin,

Aku tidak akan pernah menyesal untuk mencintaimu.

Seribu kali pun.

Dua ribu kali pun.

Tiga ribu kali pun.

Atau miliaran kali pun, aku tidak akan pernah menyesal, Soobin.

Keputusanku hari ini untuk mencintai Soobin itu memang benar adanya. Tidak ada yang salah untuk mencintai Soobin. Dia pemuda yang baik dan lemah lembut. Setiap untaian katanya selalu mengandung makna.

Lalu aku melepaskan pelukanku, memandang air wajah Soobin yang semakin memucat. "Sakit?" Aku beralih, membawa tangan kananku untuk menyentuh dahi Soobin. Tidak panas, tapi wajahnya pucat. Aku takut Soobin pingsan lagi.

"Maaf, ya, Juhee." Aku lekan menurunkan tanganku dari dahi Soobin.

"Aku membuatmu terjebak hujan seperti ini ..."

Membaca semua kalimat Soobin barusan membuatku kesal sendiri, padahal aku yang mengajaknya keluar tapi kenapa malah dia yang meminta maaf?

"Ck, Soobin!" Aku menaikkan nada suaraku. "Sudah aku bilang, ini bukan kesalahanmu!"

── ⋆⋅☆⋅⋆ ──

"Daaah, Soobin! Sampai bertemu besok, ya!" Aku melambaikan kedua tanganku menghadap tubuh Soobin yang secara perlahan menghilang dari pandangan.

Setelahnya aku memasuki kawasan apartemen, menyapa beberapa penghuni yang batu saja keluar dari pintu masuk lalu melangkahkan kakiku untuk segera menuju apartemenku.

Beberapa langkah aku berjalan, akhirnya aku sampai di lift. Aku memencet tombol 'naik' di sana dan menunggu sebentar sampai seseorang di dalam lift tersebut sampai di tujuan.

── ⋆⋅☆⋅⋆ ──

Ceklek!

Mataku disambut oleh pemandangan seorang pemuda bertubuh jangkung yang sedang berdiri di ruang tamu, wajahnya kebingungan. Aku tersenyum melihatnya. Kakakku yang aku rindukan sudah bangun dari tidurnya. "Kak Juna!—" Aku terkejut bukan main ketika pemuda yang aku panggil Kakak itu tiba-tiba menoleh dengan sorotnya yang tajam.

Sangat tajam dan menusuk, "Kak," ujarku mengecilkan suara, mulai memberanikan diri untuk bergerak dari posisiku. "Siapa yang menyuruhmu untuk membawaku pulang bangsat!" serunya membuatku lekas menghentikan langkah. Jantungku berdegup kencang, aku sungguh ketakutan setengah mati.

"Aku gagal, aku tidak pantas untuk kau panggil Kakak! Aku telah membunuh Ayah!"

Kristal-kristal mengkilap mulai keliar dari mataku membasahi pelupuk mata, "Kak—" Aku tidak tahu bahwa Kak Juna masih saja terluka dengan kejadian tiga tahun yang lalu. Dia masih saja tidak bisa memafkan dirinya. Lantas aku menangis aku melihat bagaimana cara Kak Juna yang memandangku penuh amarah karena membiarkannya menggores luka kembali dengan kembalinya dia ke rumah ini.

"Aku merindukanmu, Kak .." ucapku sesenggukan. Dan sosok dari radius yang tidak terlalu dekat itu mulai melangkah dengan cepat. Mengambil tubuhku dan menghantamnya ke tembok. Tangan kanannya beralih untuk mencekik leherku dengan kuat. Mataku membelalak lebar.

"K-ak-akh-" Aku berusaha untuk melepaskan tangannya dari leherku, tetapi kekuatannya tidak bisa aku tandingi. "Kau tidak akan pernah mengerti bagaimana sakitnya aku ketika membunuh Ayah dengan tanganku sendiri."

"Kau tidak akan pernah tahu rasanya menyentuh tubuh Ayah yang bersimbah darah dan tersenyum kearahmu lalu mengucapkan bahwa ini bukan kesalahanmu."

"Aku tidak tahu rasanya," kulihat kedua manik matanya memerah, bulir-bulir air matanya menetes, gigi gerahamnya bergerimit. "M-maa-f, k-ak .." Aku dengan susah payah berbicara meminta sedikit ampun.

Dan ketika penglihatanku sudah mulai mengabur karena aku kekurangan oksigen, cengkraman kuat itu mulai melonggar. Mataku yang sayu itu kembali terbuka lebar, tubuhnya yang bongsor itu agak menjauh dan setelahnya terjatuh begitu saja.

Panik aku menghampirinya dengan tertatih-tatih. Oh Tuhan, kenapa aku selalu saja melihat orang yang kusayangi pingsan seperti ini ..

dear sunshine, soobin ✓Where stories live. Discover now