09 : Lost half the universe

30 5 0
                                    

Pagi adalah waktu di mana seluruh aspek semesta bangun. Dimulai dari surya yang menampakan diri perlahan di ufuk timur, disusul nyanyian merdu burung-burung kecil -terkadang ada suara kokok ayam juga, mengingat tetangga sebelah, Pak Namjoon, gemar memelihara unggas tersebut-semuanya mengikuti ritme masing-masing tak terkecuali seorang Soobin yang notabene sangat sulit memulai hari.

Kelereng hitamnya bergulir malas, penunjuk waktu di atas nakas mengatakan kalau ini sudah pukul setengah sepuluh pagi, tanda ia harus segera bersiap-siap. Tapi saat kepalanya baru menyembul sedikit dari kasur, udara dingin menerpanya. Dirinya jadi semakin malas untuk beranjak dari atas ranjang.

Brak!

Kedua mata Soobin mendadak membulat ketika mendengar suara dari luar kamar. Ia pun bangkit dari ranjang tidur memperdulikan nyawanya yang masih berada di alam bawah sadar. Sambil terhuyung ke sana-kemari Soobin akhirnya menemukan sesuatu yang berbunyi tadi. "A-yah ..." Soobin berkata tanpa suara. Kadua tungkainya yang menjadi penopang tubuh itu mendadak lemas melihat tubuh sang Ayah yang tergeletak pucat di atas lantai. Perlahan kedua tungkainya itu jatuh ke lantai, bulir-bulir bening dari netranya mulai berjatuhan tanpa pertahanan.

"Ayah .." lirih Soobin kacau.

'Baiklah besok aku mati.' dialog itu tiba-tiba terputar di kepala Soobin. Ia langsung histeris, "Ayah, tidak. Ayah jangan begini .. aku sendirian, Ayah tolong bangun!" Soobin berusaha mengguncangkan tubuh pucat tersebut namun tidak sama sekali membuahkan hasil.

"Ayah tolong bangun dan peluk aku sekarang, aku ketakutan," Soobin histeris dalam tangisan, tubuhnya bergetar dan kedua tangannya masih saja berusaha untuk membangunkan sang Ayah.

Sangking kalutnya, Soobin bahkan lupa untuk menghubungi ambulans. Karena sekarang ia sudah ingat ia langsung keluar rumah dan menghampiri rumah tetangganya.

Tok! Tok! Tok!

Ceklek ..

"Iya? Soobin ada apa?" Soobin bernapas lega ketika orang yang berada di dalam rumah tersebut merespons dengan cepat. "Ayahku! Dia tergeletak dengan tubuh pucat dilantai, tolong hubungi ambulan. Jika aku yang menghubunginya mereka tidak akan mengerti, karena aku bisu." pinta Soobin memohon, sambil memahami apa yang Soobin katakan lewat gerakan tangannya wanita paruh baya tersebut menanggapinya dengan senyuman. "Aku tidak tahu jelas apa yang sebenarnya kau katakan karena aku hanya mengerti sedikit tentang bahasa isyarat." katanya mempersilahkan Soobin untuk masuk.

"Kau duduk saja, aku akan menghubungi ambulan." ucap si paruh baya dengan ramah, namun Soobin memilih untuk menolak singgah. "Aku akan kembali ke rumah saja, aku ingin menjaga Ayahku."

"Oh, baiklah."

── ⋆⋅☆⋅⋆ ──

"Haaaahhh," Aku menghela napas panjangku, menidurkan kepalaku menghadap bangku kosong di seberangku. Soobin hari ini tidak masuk, padahal aku sudah menyiapkan hadiah yang aku beli di hari Sabtu lalu bersama Minjeong. "Kenapa? Kau sedih?" Minjeomg bertanya dengan nada tidak peduli tersebut lantas hatiku semakin sedih, "yah, seperti itulah."

Minjeong meletakkan komiknya lalu menatap kepalaku yang tertidur di atas meja itu. "Kasihan sekali." katanya, lengan kirinya beralih mengelus lembut rambutku yang menjuntai. "Kau jatuh cinta padanya?" ucapan Minjeong membuatku tersentak. "Tidak." jawabku mengelak dengan keras.

"Kita hanya berteman, kami .. teman yang sangat dekat." jawabanku yang sangat lemas dan tak bertenaga itu langsung memunculkan kerutan di dahi Minjeong. Lalu sosoknya menjauhkan lengannya dari kepalaku, dan lengan kanannya yang kini beralih mengambil sesuatu dari dalam tasnya.

Tetapi aku hanya diam sampai aku melihat apa yang Minjeong keluarkan dari dalam tasnya. "Karena ini masih pagi, dan guru pun belum masuk. Dengarkan saja musik dan redamkan kesedihanmu itu." ujar Minjeong memasangkan earphone miliknya ke telingaku. "Ini musik kesukaanku. Dengarkan, ya."

Gawat.

Minjeong yang sangat cuek ini mengapa bisa tiba-tiba berubah menjadi gentle seperti ini?

Jika dia seorang laki-laki mungkin detik ini juga aku akan langsung jatuh cinta padanya.

Katika musik dimulai, aku mulai memejamkan mata untuk menikmati musiknya dan lagi-lagi lengan kiri Minjeong beralih untuk mengelus kepalaku.

"Jangan sedih," Minjeong bergumam dengan suara kecil, namun aku masih bisa mendengarnya. "Juhee, kau adalah semestaku."

Degh!

"Minjeong." Aku membuka mataku, aku lihat wajah Minjeong di atasku dengan jelas, "kau-"

"Jangan salah paham, dasar bodoh." lalu Minjeong menunjukkan sebuah lembaran kertas berisi banyak tulisan di sana. "Aku sedang berlatih drama,"

"Dialog yang tadi ada di dalam teks drama."

Minjeong sialan!

"Aku tidak mungkin jatuh cinta kepada seorang perempuan, dan jika bisa pun, aku tidak akan jatuh cinta padamu." katanya acuh kembali, ia menarik tangannya dari atas kepalaku. "Lanjutkan saja aktifitas meng-galau-mu itu."

Aku mendecih kesal. "Ya."

── ⋆⋅☆⋅⋆ ──

Brankar tersebut di buka dengan cepat, Soobin dapat melihat sebuah bangsal yang di tutupi oleh kain putih di dalam kamar tersebut. Tatapan penuh tanya dilemparkan Soobin pada dokter yang baru saja keluar dalam unit gawat darurat tersebut. "Maaf, kadar racun pada tubuh pasien sudah terlalu cepat. Pasian sudah meninggal pada pukul delapan pagi, tepatnya saat pasian beru saja masuk unit gawat darurat."

Soobin merasa waktunya berhenti detik itu juga, kepalanya mendadak pusing.

"Saya minta maaf, karena saya tidak bisa menyelamatkan Ayah Anda."

"Saya pamit."

Seluruh oksigen di dalam gedung itu terasa sangat menyakitkan, setiap kali Soobin menarik napas seperti ada sesuatu yang menusuk jantungnya.

Dengan langkah berani Soobin memilih untuk melangkah memasuki ruangan tersebut. Meski kini hatinya bergejolak takut.

Bau obat-obatan menyengat menganggu indera penciuman Soobin, ia memicing namun langkah kakinya masih saja berjalan sampai pada akhirnya ia sampai di bangsal tersebut.

Perasaan yang tak pernah Soobin rasakan sebelumnya, ia ketakutan setengah mati atas apa yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri.

Srak!

"Ayah,"

Hari ini, Soobin telah kehilangan separuh semestanya lagi.

dear sunshine, soobin ✓Donde viven las historias. Descúbrelo ahora