25 : A day in hospital with Juhee

27 1 0
                                    

Satu minggu kemudian

Ini sudah sore dan aku sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit setelah mengunjungi Kak Juna di rumah sakit jiwa. Aku sudah dua hari tidak menjenguk Yeonjun dan Soobin di rumah sakit karena aku sedang fokus belajar untuk ujian masuk ke Universitas dan juga ujian kelulusan.

Bus berhenti, pintu depan dan belakang terbuka. Aku segera berjalan untuk keluar sembari menenteng paper bag berukuran besar. Dalam jarak seratus meter lagi aku akan sampai di rumah sakit.

Setelah turun aku segera berjalan menuju rumah sakit.

Menghabiskan waktu sekitar sepuluh menit dan aku akhirnya sampai. Tanpa bertanya pada resepsionis, aku langsung berjalan menuju lift untuk sampai di kamar Yeonjun dan Soobin yang sebenarnya terpisah hanya saja terletak di lantai yang sama.

"Tiba di lantai dua."

Pintu lift terbuka setelah berbunyi, aku langsung berjalan terlebih dahulu ke kamar Yeonjun.

Tok! Tok! Tok!

"Masuk."

Aku membuka pintu perlahan, sosok Beomgyu berada di sana dengan satu buah Alkitab di genggaman. "Bagaimana kabarmu, Juhee?" sapa Beomgyu saat tubuh Juhee melesat masuk ke dalam ruangan.

"Ahhh, aku stress sekali karena belajar!" Beomgyu terkekeh. "Ngomong-ngomong kau benar-benar tidak ingin kuliah, Gyu?" Beomgyu menggeleng.

"Mungkin akan kuliah, tapi akan telat."

Lalu aku hanya tersenyum atas respon Beomgyu. "Kau istirahatlah dulu, aku yang akan menjaga Yeonjun." Beomgyu mengangguk setuju, bokongnya segera ia angkat untuk berdiri. "Aku akan sebentar."

"Yaa~"

Sret!

Aku menarik kursi di samping bangsal Yeonjun. Lalu aku duduk di sana dalam diam, menatap Yeonjun dengan nanar. Tubuh lemahnya yang penuh luka itu berbaring dengan segala selang yang memenuhi tubuhnya. Dan mata indah milik Yeonjun itu masih setia terpejam selama satu minggu lamanya. Aku rindu Yeonjun.

Yeonjun—dia koma. Entah kapan ia akan bangun tetapi karena pendarahan di otaknya sangat fatal dan mungkin akan sangat lama untuk Yeonjun sadar dari mimpi panjangnya.

"Yeonjun-ah, bagaimana kabarmu?"

"Kau tidak merindukanku, huh?"

"Kapan kita akan makan bersama lagi? Kau tidak rindu momen itu?"

Hening lagi, aku tidak membuat suara karena mataku mulai perih.

Aku tidak ingin menangis di hadapan Yeonjun seperti ini.

── ⋆⋅☆⋅⋆ ──

"Soobin-ah!" panggilku ketika aku menggeser ruangan tempat Soobin dirawat. Sosok pemuda di dalamnya mendongak sambil terkejut menatap eksistensiku yang sudah dua hari tidak berkunjung. Kulihat senyum lebarnya langsung menyapa. Aku berjalan cepat dengan tidak lupa menutup pintu kembali lalu berhamburan ke dalam pelukan Soobin yang hangat.

"Eunggg! Aku merindukanmu!" ucapku di dalam pelukan Soobin, lalu tangan Soobin beralih untuk mrngelus puncak kepalaku dengan lembut. Aku segera mendongak untuk melihat wajah Soobin, matanya berkaca-kaca. "Aku juga." ucap bibirnya yang tanpa suara pun aku paham.

Aku langsung melepas pelukan Soobin dan memposisikan tubuhku untuk duduk di pinggiran bangsal. Aku takut jika terlalu dekat akan merusak selang-selang di tubuh Soobin. "Bagaimana belajarnya?"

"Uhhh, itu buruk. Aku stress sekali. Terlebih lagi ditambah dengan kerinduanku padamu. Aku makin stress." Soobin tertawa tanpa suara, giginya yang rapih dan putih itu sampai terlihat.

"Kau harus cepat sembuh, Soobin."

"Aku merindukanmu, sungguh merindukanmu."

"Aku rindu Soobin yang sehat dan bersekolah."

"Jujur saja, kau itu jelek dengan pakaian rumah sakit itu. Ugh." lagi dan lagi Soobin tertawa, kali ini lebih lebar sehinga suara kecil dari tenggorokannya terdengar.

Melihat hal itu mendadak aku berterima kasih pada Tuhan karena masih memberiku dan Soobin waktu untuk kembali menjalani kebahagiaan dalam saling mencintai seperti ini.

Ya, aku dan Soobin tidak putus.

Itu karena aku tidak setuju di tambah lagi keputusan Soobin untuk putus itu bukan karena dia tidak lagi mencintaiku. Tapi karena dia sakit dan tidak ingin membuatku terbebani karena dirinya sakit. Soobin itu selalu salah dalam memilih tindakannya, jika aku percaya atas ucapannya aku mungkin akan benar-benar kehilangan Soobin dan dia pun juga begitu.

Setidaknya kami harus berpisah dengan damai. Bukan dengan kebencian.

"Sudah makan?"

"Balum, aku menunggumu untuk makan bersama."

"Ohh, manisnya. Baiklah ayo kita makan bersama." Aku mengeluarkan makanan dari paper bag yang sudah susah payah aku bawa.

Aku menarik meja dari bangsal Soobin dan barulah aku kembali meletakkan makanan yang aku beli.

Aku membeli ayam goreng pedas manis untuk diriku sendiri dan membeli bubur seafood untuk Soobin.

Aku mengambil tisu basah dari dalam tasku. Memberikan satu lembar untuk Soobin dan selembar lagi untukku. Aku dan Soobin sama-sama mengelap telapak tangan kami supaya bersih.

"Sudah, ayo kita makan."

"Terima kasih, atas makanannya. Selamat makan."

── ⋆⋅☆⋅⋆ ──

Jam dinding kamar Soobin sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Aku harus segera pulang untuk kembali belajar karena esok harinya aku akan menjalani tes masuk universitas lewat ujian.

Soobin kulihat sudah tertidur pulas sejak dokter datang untuk mengecek kondisinya.

Aku segera bangkit pelan-pelan, berjalan mengendap-endap menuju pintu untuk pulang.

dear sunshine, soobin ✓Where stories live. Discover now