13 : Gift

26 5 0
                                    

"Bagaimana kabarmu, Juhee-ssi?" sosok pemuda yang benar-benar aku benci ini mengajaku berbicara sudah kelima kalinya, tetapi aku masih saja mendiaminya dan bahkan bersikap selayaknya sosoknya tidak terlihat.

Tetapi, sedetik setelahnya sebuah sentuhan halus dari punggungku membuatku menoleh.

"Juhee, dia mengajakmu berbicara."

Aku memandangi Soobin dengan tatapan sinis, "jangan buat aku marah, Soobin." ucapku dengan ketus, aku benar-benar sedang tidak mood untuk berbicara dengan siapa pun hari ini. Termasuk Soobin.

Dari ekor mataku aku dapat melihat air wajah Soobin yang langsung murung saat aku sedikit membentaknya tadi. "Maaf,"

Meski begitu, sosok pemuda di depanku ini tampak sedang mengamati Soobin dengan teliti. Aku tahu, aku tahu dia pasti bingung. "Tidak perlu melihatnya seperti itu, Taehyun. Pergilah. Menganggu saja kau ini." perintahku mengusir Taehyun dari ruangan penuh buku tersebut.

"Hei, santai-santai. Jangan marah-marah seperti itu, sayang."

"Pergi, Kang Taehyun."

"Iya-iya, maaf. Aku hanya ingin bertanya keadaan mantanku pagi ini, apakah dia baik-baik saja, atau malah sedih."

"Enyahlah kau sialan." krmatahanku sudah mrmuncak, telingaku panas saat mendengar Taehyun berbicara seakan-akan hubungan kami masih seperti dahulu.

Aku beranjak dari sana cepat, meninggalkan Soobin dan Taehyun yang tidak saling mengenal itu di dalam ruang yang sama.

"Kau pacarnya?" tanya Taehyun.

Soobin menggeleng. "Oh, baguslah."

── ⋆⋅☆⋅⋆ ──

"Hei-hei, kau kenapa?" Minjeong bertanya dengan keadaan raut wajahku yang sudah cemberut sejak masuk ke kelas tadi. "Keparat menyebalkan itu, kenapa harus kembali, sih?!" kataku mengeluarkan seluruh kesialan yang terjadi hari ini.

"Kang Taehyun? Dia memang seharusnya kembali, 'kan? Dia baru saja mengharumkan nama sekolah dan negara kita, Juhee."

"Aku tahu! Tapi dia itu—ergh, menyebalkan sekali!"

Aku menyembunyikan wajahku ke dalam lipatan tanganku di atas meja, Minjeong lalu memperhatikanku. Sedetik kemudian Soobin memasuki ruangan kelas tersebut. Minjeong menatap Soobin sebentar lalu mengalihkan lagi pandangannya ke arahku.

Minjeong tahu, apa yang harus ia lakukan saat ini.

Untuk memperbaiki mood seorang Song Juhee tidak mudah, tetapi tidak sulit juga.

"Juhee."

"Hm,"

"Angkat kepalamu."

"Ergh .. apa?" sekotak susu dengan perisa stroberi itu menyapa kedua mataku, lalu tangan Minjeong kembali menambahkan beberapa makanan ringan yang benar-benar aku gemari. Minjeong memang tahu aku segalanya.

"Minjeong-ah,"

"Jangan terharu, aku memang membawanya setiap hari." nada bicaranya kini berubah menjadi datar. Namun meski begitu, Minjeong tetaplah Minjeong yang hangat dan yang paling aku sayangi.

Aku beralih mengambil objek di depanku dengan senang hati, "ah, benar. Novelmu." Minjeong berkata memanda

"Novel? Novel apa?" lalu ingatanku jatuh pada hari di mana aku dan Minjeong membeli sebuah novel bersampul jingga yang niatnya aku akan berikan pada Soobin. "Ah! Iya, novel itu!" seruku berhasil mengerti perkataan Minjeong.

"Untung aku tidak pernah mengeluarkannya dari tas."

"Kapan kau akan memberikannya?"

"Saat jam istirahat kedua mungkin? Kita lihat saja situasinya."

── ⋆⋅☆⋅⋆ ──

Di dalam keramaian kantin sore itu, Taehyun hanya mengamati sekelompok pemuda yang sangat amat dikenalnya itu. Dia dalah rival Taehyun sejak kelas sepuluh. Entah dalam hal bisnis orang tuanya dan dalam hal akademik. Choi Yeonjun. "Hei, kawan!" Pemuda yang diamatinya itu terlebih dahulu menyapa, menghampiri dirinya yang sedang mengamati keadaan.

"Selamat atas kemenangannya, ya, bro!"

"Ya, terima kasih."

"Jutek sekali, deh." Yeonjun iseng mencolek bahu Taehyun untuk mencairkan perilaku dingin Taehyun. "Bagaimana kabarmu selama di sana?"

"Seperti yang kau lihat, aku kesulitan."

"Jawaban yang tidak terduga, ya. Kukira kau akan menjawab baik-baik saja." lalu Yeonjun terkekeh. "Di mana saudara kembarmu?"

"Dia di ruang musik mungkin? Sedang bersemayam dengan pacarnya, piano." jawab Taehyun terlihat ogah-ogahan. Tetapi Yeonjun memahaminya, mengapa Taehyun terlihat lemas hari ini.

"Sakura? Dia bagaimana?"

"Dia? Dia sudah bahagia dengan tunangan barunya."

"Oh, begitu." hening, Yeonjun tidak lagi membuka pembicaraan. Begitu pula dengan Taehyun yang juga enggan membuka pembicaraan dengan Yeonjun.

Suasananya menjadi canggung saat itu juga.

"Halo! Halo!" suara meleking dari arah barat menyapa pendengaran keduanya, tetapi yang menoleh dan mencari keberadaan suara hanya Yeonjun. "Hei! Kai!" Yeonjun beranjak antusias.

"Sudah lama, ya." Yeonjun membawa tubuh Huening Kai dalam rangkulanya.

── ⋆⋅☆⋅⋆ ──

Lagi di perpustakaan, kali ini aku tidak bersama Soobin. Aku terpisah dengannya di bangku yang berbeda. Aku lalu memandanginya. Bukankah aku sudah terlalu kasar padanya tadi siang? Dia bahkan tidak berbalik menyapaku ketika kami berpapasan di koridor tadi. Tampaknya dia marah, karena aku membentaknya.

Aku beranjak, menghampiri Soobin sembari membawa novel yang sudah aku janjikan untuk kuberikan padanya. "Soobin," dia mendongak sedikit lalu kembali lagi pada posisinya semula. "Maaf, aku sudah membentak dan memarahimu tadi."

Belum apa-apa, Soobin sudah terlebih dahulu menarikku dan dia menggeser tubuhnya untuk memberikan tempat. "Tidak apa-apa, aku mengerti."

Aku tersenyum tipis, lalu terpikirkan untuk memberikan novel tersebut. "Soobin, ini." Soobin melirik kecil sebuah buku bersampul jingga yang aku letakkan di atas meja. "Apa?"

"Untukmu, niatnya aku berikan kemarin. Tapi kemarin, 'kan kau tidak masuk."

"Juhee, aku benar-benar tidak enak jika begini .. serius ..." Soobin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu dengan canggung.

"Yah, terus bagaimana, dong? Sudah kubeli ini, lho. Aku benar-benar kesulitan mencari buku ini. Kau yakin akan menolak buku yang sangat kau inginkan ini?" Soobin pasti tahu, bahwa kali ini aku memaksanya untuk menerima pemberianku.

"Aku akan menerimanya, tapi aku akan mengganti uangmu untuk membeli buku ini. Dan uangmu kemarin yang sudah dipakai unt—"

"Soobin!" nadaku kini mulai meninggi, aku memandangnya dengan marah. Dan karena suaraku beberpa insan di sana menoleh ke arahku dan melayangkan tatapan sinis.

"Aku tulus memberikan itu semua kepadamu, kenapa harus diganti? Aku tidak mau."

"Tapi Juhee,"

"Soobin."

"Iya, maaf."

"Jangan minta maaf begitu, dong."

"Diterima dengan baik, ya, Soobin."

"Terima kasih, Juhee. Sudah repot-repot seperti ini."

── ⋅ ⋅ ── ✩ ── ⋅ ⋅ ──

dear sunshine, soobin ✓Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt