Peraturan vs Realita

1.8K 239 36
                                    

Tidak fokus. Gavi tidak dapat memusatkan fokusnya pada deret kalimat pada lembar ujiannya. Kembalinya eksistensi Kajevrian didekatnya setelah hampir satu tahun tidak saling bertemu benar-benar mengganggu. Buat Gavi banyak menghela nafas selama sesi pertama ujian.

Tangan berkeringatnya Gavi seka pada fabrik celana sekolahnya. Sekali lagi, nafas dalamnya dihembuskan. Keringat lain yang mengalir di keningnya Gavi seka. "Sial, fokus, fokus, fokus. Jangan kacauin ulangannya." suaranya berbisik pelan, pulpen hitamnya diremat dengan kuat. "Tinggal beberapa soal lagi, ayo selesaikan."

"Nafas."

Gavi menoleh, dengar penuturan dingin Kajevrian disampingnya. Matanya ia edarkan pada seisi kelas yang seluruhnya disibukkan oleh lembar soal ujian yang belum rampung dituntaskan.

"Nafas. Gavi."

Bisikan pelan Kajevrian tidak ingin Gavi dengar, pun dengan tatapan tajam yang tepat mengarah padanya tidak ingin ia balas.

"Gavi, lo gak bernafas dengan baik."

Gavi kikuk, matanya menatap pada lembar soal yang masih ia kerjakan. Beberapa huruf terlihat menari-nari, kepalanya ia gelengkan untuk menemukan kembali titik fokusnya. Rematan pada pulpennya semakin mengerat. Gavi tahu, ia tidak sedang bernafas dengan baik, dadanya sesak, bulir keringat yang terus mengaliri keningnya buat ia gugup, tatap tajam Kajevrian disampingnya buat ia takut.

"Lo bisa pergi setelah lo selesai dengan soal yang masih lo kerjakan." Kajevrian bicara tatapannya tidak lagi mengarah pada Gavi, soal sosiologinya kini jadi satu-satunya yang ia tatap. "Tapi lo masih harus nafas."

Suara decitan kursi yang beradu dengan permukaan lantai buat seluruh atensi teralihkan pada Kajevrian yang berdiri dengan wajah diam tanpa ekspresinya.

"Kajev, soalmu sudah selesai?"

Kepala dengan surai hitam Kajevrian mengangguk, tubuh dengan tinggi menjulangnya melangkah menuju bagian paling depan, lembar soal yang tuntas dikerjakannya diletakkan diatas meja pengawas. "Sudah boleh keluarkan?"

"Jangan buat keributan, kelas lain belum ada yang keluar."

Tidak ada jawaban, Kajevrian melangkah keluar, meninggalkan ruang ujian dengan bisik-bisik dibelakang punggungnya. Angkuh seperti biasa. Kajevrian tidak banyak berubah. Dia masih antagonis yang sama. Antagonis yang tidak mau menerima cinta yang Gavi miliki.

+++


Diantara lumeran pisang cokelat yang Skyler belikan untuknya, Gavi lebih menginginkan tahu krispy yang memiliki antrian paling panjang dikantin sekolah yang ramai. Ia menginginkan itu untuk masuk kedalam perutnya, tapi Skyler menolak untuk membelikan dengan alasan dia malas mengantri karena terlalu banyak orang yang mengenali sosoknya, dia akan banyak bicara jika ikut mengantri demi satu bungkus tahu krispy seharga lima ribu rupiah.

Pipi tembam Gavi dicubit, Skyler berdecak dengan tawa diujung. "Kalo lo semau itu kenapa gak lo aja yang antri?"

"Gak mau, kepala gue pusing." mulutnya penuh, pisang cokelat yang tidak diinginkannya tetap dia habiskan.

"Alasan lo selalu sama setiap hari." kini ganti hidung Gavi yang ia cubit. "Mau sampai kapan bertingkah tak terlihat? Walau tinggi badan lo cuma nambah 3 cm, lo tetap bakal kelihatan sama orang-orang."

"Berhenti bicarain tinggi badan!" Gavi mendengus, tak terima dengan apa yang selalu Skyler ungkit tentang tinggi badannya yang hanya bertambah sekitar tiga sentimeter selama satu tahun belakangan ini. "Lo gak ada kapok-kapoknya kah gue pukul karena bahasan lo yang itu-itu aja?!"

"Stop marah-marah, lo harus habisin makanan lo yang banyaknya gak seberapa itu."

Gavi merengut mendorong sisa pisang cokelatnya dihadapan Skyler. "Bantuin."

Morosis • JaywonWhere stories live. Discover now