Trauma

1.6K 172 25
                                    

"Gavi, 8 bulan gue habiskan dengan hanya ngeliat punggung lo, 8 bulan gue habiskan dengan suara lo yang cuma bisa gue denger dari kejauhan, 8 bulan gue habiskan dengan berdiri di jarak paling jauh dari tempat lo berada." adalah kalimat pertama yang akhirnya Kajevrian ucapkan setelah hanya membiarkan kekosongan mengisi sela waktu mereka. Ia biarkan suaranya menggema memenuhi seluruh ruang kelas yang kosong. Tatap matanya tidak pernah lepas pada tautan tangannya dengan Gavi yang terjalin dengan paksa. "Gue gak butuh lagi satu hari, satu minggu atau bahkan satu bulan buat ngalamin hal yang seharusnya gak gue alami."

"Bukan, bukan kaya gitu." usapan lembut Kajevrian beri pada punggung tangan Gavi. "Gue gak harus ngalamin hal yang seharusnya gak lo lakuin. Gavi gue gak pernah minta untuk lo perlakukan seperti ini. Gue cuma minta lo balik ke tempat lo semula, gue gak pernah bilang kalo lo boleh perlakuin gue begini."

"Gue gak pernah bilang kalau lo harus berusaha sekuat tenaga buat gak kelihatan dimata gue, gue gak pernah bilang kalau lo harus lari sekencang yang kaki lo bisa buat tetap berada jauh dari tempat gue, gue gak bilang kalau lo mesti abai terhadap keberadaan gue. Gavi, gue gak pernah bilang kalau lo harus ngelakuin itu semua."

"Apa semua yang lo minta harus gue turutin?" Gavi bicara, memotong apapun yang hendak Kajevrian bicarakan lagi. "Apa yang gue lakuin sekarang memang bukan apa yang lo minta, ini adalah kemauan gue. Gak perlu izin dari lo buat gue ngelakuin apa yang gue mau kan?"

"Apa harus itu yang lo mau?"

"Kenapa? Apa yang selama ini gue lakuin bikin lo ngerasa kehilangan? Buat lo ngerasa kalo gue ini sosok yang buat lo rindu sampai hilang akal?" Gavi tertawa, mendapati Kajevrian yang hanya terdiam ditempatnya. "Gak ada jawaban yang bisa lo kasih kan?" mejanya dilompati, Gavi memilih mengakhiri pembicaraannya dengan Kajevrian sore ini. "Jangan berlagak seolah-olah lo kehilangan sosok gue."

"Lagi-lagi, lo dan mulut sialan lo." wajahnya diusap kasar, Kajevrian bangkit berjalan dengan gontai disepanjang lorong kelas yang sepi. Matanya menatap pada punggung Gavi yang sudah menjauh dari pandangannya. "Lo berlagak seolah-olah paling tahu soal perasaan gue, Gavi lo bahkan gak tau apa-apa soal itu."

"Harusnya itu yang lo bilang waktu saling bicara tadi." Sagara mengintrupsi, berjalan mendekat pada Kajevrian yang berdiri diam sambil terus menatap pada arah Gavi yang sudah menghilang dari pandangan.

"Gue cuma akan buat dia nangis lagi."

+++

Pukul 7 malam saat Skyler tiba dirumahnya dengan pandangan yang begitu fokus menatapi kedua matanya. Mengajukan pertanyaan yang sama secara berulang "Pulang sekolah tadi lo nangis, gak?" adalah pertanyaan ke lima Skyler ajukan, pun masih tetap Gavi balas dengan jawaban yang sama "Gue gak nangis, kenapa gue harus nangis?"

"Kajevrian gak buat lo nangis?"

"Kenapa dia harus selalu buat gue nangis?" matanya berotasi, Gavi kembali memasukkan bajunya yang telah disetrika sang ibunda kedalam lemari.

"Karna itu kan yang selalu dia lakuin?"

Pergerakkannya terhenti, tangannya mengambang untuk beberapa saat. Kepalanya menoleh hanya untuk menemukan Skyler menatapnya penuh dengan iba. "Kajevrian gak selalu buat gue nangis kok."

"Tapi gak juga buat lo bahagia kan?"

"Lo pikir dia siapa? Kajevrian gak punya tanggung jawab untuk selalu buat gue bahagia."

"Sewot banget, ayo cari makan di alun-alun."

Pundaknya di rangkul, Gavi menolak ajakan yang Skyler tawarkan. Tubuhnya didudukan pada kursi depan meja belajarnya begitu selesai menyusun baju kedalam lemari. "Males, terakhir kali gue datang ke alun-alun pulangnya nangis kaya orang abis dipukulin."

Morosis • JaywonWhere stories live. Discover now