Sekali Ini Saja

1.8K 267 37
                                    

Malam hari, Gavi mengeluh lapar setelah tidak sengaja melihat konten makanan yang lewat di beranda Youtubenya. Inginnya memesan online karena ia terlalu malas jika harus pergi keluar untuk mencari beberapa hidangan, tetapi mengingat jika ia harus mulai menyisihkan uangnya untuk beberapa kepentingan yang harus dibelinya membuat dia urung, berakhir beranjak dari tidurnya kemudian meraih cardigan putihnya yang tergantung dibelakang pintu.

"Bunda, Gavi mau cari jajan dulu ke depan, mau titip?"

Bundanya berada didepan tv, begitu fokus melihat acara yang tengah ditayangkan sembari melipat baju selepas diangkatnya sore tadi.

"Bunda masih kenyang, kamu aja. Jajan yang banyak, biar badan kamu gembul lagi."

Tertawa kecil, Gavi berjalan pergi tanpa menjawab apa yang ibunya katakan. Motor matic miliknya sudah berada di dalam rumah, Gavi menimang haruskah ia memakai motor untuk sampai ke tempat yang menyajikan banyak jajanan atau berjalan kaki saja? Jika menggunakan motor hanya akan memakan waktu sekitar lima hingga tujuh menit untuk sampai ke tujuan. Jadi Gavi putuskan untuk berjalan kaki saja, akan sangat lelah jika ia harus mengeluar masukkan motornya lagi.

Bulan dimalam ini terlihat begitu terang, beberapa bintang bahkan terlihat berkedip. Karena lampu jalan di kompleknya sudah mati sejak seminggu lalu, Gavi dibuat bersyukur sebab ia tidak perlu takut jalannya akan menjadi gelap sebab cahaya bulan sudah sangat cukup membuat jalannya sedikit terang.

Sepanjang jalan Gavi hanya berpikir tentang jajanan apa saja yang hendak ia beli. Mungkin beberapa makanan yang berkuah, Gavi juga sedikit merindukan kelapa pada kue Putu, ia akan beli itu nanti, setelah ia menemukan batagor bumbu kacang favoritnya.

"Pak mau satu." ujar Gavi pada penjual batagor yang tengah menyiapkan satu porsi batagor yang Gavi yakini milik seseorang dibelakangnya.

"Dibungkus atau dimakan ditempat?"

"Dimakan disini aja, bumbu kacangnya agak dibanyakin ya pak, dikasih sambelnya juga agak banyak biar pedes kalo bisa sekitar 4 sampai 5 sendok aja—"

"Lo mau makan batagor atau makan sambel?"

Diantara banyaknya suara Gavi ingin protes mengapa harus suara milik Kajevrian yang mesti telinganya dengar. Ia tidak mau menoleh untuk memastikan, sudah sangat jelas jika seseorang dibelakangnya ini adalah Kajevrian. Maka Gavi hanya akan diam, berlaku seolah tidak mengenal pemilik suara yang berbicara dibelakangnya.

"Beneran mau 5 sendok sambelnya?"

"Iy—"

"Satu sendok aja pak, akhir-akhir ini dia gak suka makan nasi, bisa kena lambungnya kalau kebanyakan makan sambel."

"Kajevrian!" pada akhirnya Gavi menoleh, wajahnya bersungut dengan kesal. Kajevrian tidak datang sendirian, ada seseorang disampingnya tapi tidak Gavi kenali. "Kenapa jadi lo yang ngatur-ngatur sih?

" Cukup terima batagor lo." Kajevrian berujar tenang, menatap Gavi yang tengah menahan rasa kesalnya. "Bicara satu kalimat lagi, gue pastikan lo gak akan lagi bisa beli batagor ditempat favorit lo ini."

"Sialan, lo buat selera makan gue ilang." wajahnya ditekuk, Gavi meraih batagor miliknya. Dengan matanya yang berkaca-kaca, batagor ditangannya mulai dia santap setelah menemukan satu kursi yang bisa digunakannya untuk duduk.

"Lo nangis cuma karena perkara sambel?"

"Jev, salah lo itu datang-datang ngatur."

Gavi tidak ingin bicara, ia hanya ingin menghabiskan satu porsi batagornya dengan cepat lalu kembali pulang ke rumah. Tidak peduli dengan kerinduannya pada kue putu nafsu makannya telah menguap entah kemana.

"Gavi, gue minta maaf atas Kajevrian." seseorang yang datang bersama dengan Kajevrian berbicara. "Tapi sebenernya yang Kajevrian bilang juga ada benarnya, kalau lo lagi gak suka makan nasi sebaiknya gak banyak makan sesuatu yang pedas, kurang baik buat perut lo."

"Tadi sore gue udah makan nasi kok." air matanya sudah jatuh, Gavi dengan cepat menyeka air matanya. Tidak ingin Kajevrian melihatnya menangis, meski apa yang dilakukannya sangat sia-sia sebab Kajevrian saja sudah menatapi dirinya sejak tadi.

"Jangan nangis, batagor lo nanti rasanya jadi beda." Sagara berujar untuk menenangkan Gavi.

Niat Sagara awalnya seperti itu, menenangkan Gavi sambil mengusap-ngusap punggung Gavi yang sedikit bergetar, tapi itu hanya niatnya saja, tangannya bahkan baru terangkat sedikit tapi ia sudah dapat kecaman tajam dari Kajevrian yang duduk disebrang meja. "Iya elah, gak gue sentuh."

"Berhenti nangis, ingus lo sebentar lagi nyatu sama bumbu kacang." ucap Kajevrian, tangannya kini terangkat menggantikan tangan Sagara yang sebelumnya jelas ia lihat hendak menyeka air mata Gavi yang masih tersisa dipipi gembulnya yang mulai menirus.

Tentu apa yang dilakukannya buat Gavi terkejut hingga membuat tubuhnya bergerak mundur. "Kenapa? Beberapa bulan lalu lo seneng kan gue perlakuin gini?"

"Lo tau gak kalo apa yang lo lakuin sekarang ini aneh?" Gavi berujar, tangan Kajevrian yang baru saja menyeka sisa air mata diwajahnya disingkirkan. "Jangan sama kan gue di beberapa bulan lalu sama gue yang sekarang." sendok batagornya diletakan. "Sialan, kenapa juga gue harus ketemu sama lo disini."

"Pergi kemana? Batagor lo belum abis."

"Lo pikir gue bakal tetap duduk sambil makan batagor setelah perlakuan aneh lo barusan?!" Gavi tertawa. "Gue gak segila dulu, semua yang lo lakuin gak akan buat gue melayang kesenangan lagi, gue gak peduli lagi soal lo sialan, berhenti muncul dihadapan gue!"

"Mau beli apa lagi? Biar gue yang traktir."

"Jev, gak gini caranya."

Baik Sagara maupun Kajevrian, keduanya sama-sama bangkit dari duduknya. Sagara bukan hendak mengikuti Kajevrian yang terlihat akan mengikuti Gavi, Sagara hanya mencoba untuk menghentikan apapun yang hendak dilakukan Kajevrian pada Gavi.

"Lo disini. Gue mau sama Gavi. Berdua."

"Jangan gila, Gavi jelas gak mau."

Puncuk hidungnya digaruk pelan, matanya menatap sesaat pada Sagara. "Maka akan gue buat dia mau." lalu kakinya melangkah untuk lebih dekat dengan Gavi. "Ayo Gav, gue beliin semua yang lo mau."

Gavi bergidik, ia melangkah pergi, dengan terburu mengeluarkan selembar uang untuk membayar satu porsi batagornya. Tangannya bergetar hingga untuk meraih uangnya saja memerlukan waktu yang lama.

"Udah gue bayar, ayo lo gak mungkin kan datang ke sini cuma buat makan batagor aja?" lengan Gavi diraihnya untuk di genggam, Kajevrian menghiraukan Gavi yang menolak genggamannya. "Ayo gue traktir lo jajanan yang lain."

"Lepasin tangan gue Kajevrian!" tangannya coba ia tarik, Gavi tidak peduli jika suaranya mampu buat beberapa pasang mata menatap kearahnya. "Sialan lo buat gue takut—"

"Gavi, sekali ini aja." Kajevrian berujar, genggaman tangannya pada Gavi semakin mengerat. "Sekali ini aja, jangan ngejauh dari gue, gue mohon."

Terdiam, Gavi menatap sisi wajah Kajevrian yang terlihat begitu tenang. Berbanding terbalik dengan suaranya yang terdengar sedikit bergetar. Matanya menatap pada tangannya sendiri yang berada didalam genggaman Kajevrian. Ini adalah kali pertamanya Gavi mendengar Kajevrian memohon. Kenapa? Apa yang sebenarnya Kajevrian pikirkan hingga harus menurunkan egonya hanya untuk tidak ia jauhi.

"Jangan genggam gue terlalu kuat." suaranya mengalun pelan. "Tangan gue serasa mau hancur didalam genggaman lo."





















End of Sekali Ini Saja;—

Lo tuh maunya apa seh kajep????? banyak mao betul anak ini

Morosis • JaywonWhere stories live. Discover now