Bab 1

60K 4.9K 141
                                    

Mirna menguletkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri secara bergantian kemudian ia membuka selimut yang membungkus tubuhnya. Suara ribut di luar kamarnya mampu membuatnya bangun dari tidur nyenyaknya. Sudah hampir satu bulan ia tinggal di rumah setelah wisuda kelulusan. Selagi menunggu panggilan kerja, Mirna memilih kembali ke kota asalnya demi menghemat uang kos.

"Paket!"

Mirna yang mendengar itu langsung meloncat turun dari kasur. Karena kamarnya berada di depan, otomatis ia bisa mendengar jelas suara kurir yang barusan berteriak. Baru ia membuka pintu, sudah ada Ibunya yang menatapnya tajam dengan memegang paket miliknya.

"Paket terus...." sindir Ibu terang-terangan. "Hampir tiap hari paket. Ibu aja bosen lihat wajah kurirnya," lanjutnya mendumel.

"Hmmm ... Ibu nggak berangkat ngajar?"

Ibu menyerahkan paket yang dipegang pada anak bungusnya dengan sedikit kesal. "Kalo kamu mau belanja, setidaknya bantuin Bapakmu ngurus orang-orang yang kerja di sawah. Atau paling nggak kamu ikut sama Kakakmu ngurus sawahnya," ucapnya menasihati.

Mirna tersenyum kecut. Hampir tiap hari ia mendengar soal itu. Apalagi setelah ia selesai wisuda dan belum ada satupun panggilan kerja untuknya. Padahal selama ini ia juga sudah berusaha, tapi memang mencari kerja dizaman sekarang bukanlah hal yang mudah.

"Mandi, makan terus bantuin masak buat orang yang kerja di sawah!" titah Ibu tegas.

Mirna mengangguk malas-malasan.

"Agung!" teriak Ibu memanggil anak sulungnya. "Ayo anterin Ibu ke sekolah. Nanti Ibu malah telat ngajarnya gara-gara ngomelin Adikmu terus," ucapnya setelah anak sulungnya menghampirinya.

Mirna menyalimi tangan Ibunya yang hendak pergi bekerja diantar oleh Kakaknya. Setelah memastikan Ibunya sudah menghilang, ia kembali masuk ke dalam kamar. Ibunya berprofesi sebagai guru. Sedangkan Bapaknya bekerja di rumah mengurus sawah-sawah yang sangat banyak. Selama satu bulan di rumah, Mirna diminta Ibunya untuk memasak untuk orang-orang yang bekerja di sawah Bapaknya. Karena memang masih mengandalkan uang bulanan dari orang tuanya, mau tidak mau Mirna harus menuruti semua perkataan Ibunya. Berbeda dengan Ibunya, justru Bapaknya malah terkesan lebih santai dan tidak pernah mengomelinya soal pekerjaan. Kalaupun Mirna jarang membantu, Bapaknya tetap akan memberi uang bulanan padanya.

Keluar dari kamar, Mirna sudah dalam keadaan lebih segar. Ia langsung menuju dapur dan melihat semua bahan masakan sudah tersedia di atas meja makan. Selepas subuh Ibunya memang akan belanja di tukang sayur di dekat rumah. Biasanya sebelum berangkat kerja, Ibu akan masak dengan dibantu oleh Dewi, sepupu Mirna yang tinggal di kampung sebelah.

"Dek, air galonnya habis. Nanti tolong kamu beliin dulu ya ke rumahnya Pak Basori," ucap Bapak ketika memasuki dapur.

"Kemarin kata Mas Agung banyak yang protes soal air ya, Pak?" tanya Mirna sembari menumis bawang di wajan.

Bapak mengangguk membenarkan. "Pada minta air kemasan yang ada merk-nya," jawabnya. "Nggak tau aja kalo kita minum aja pake air isi ulang. Mereka pada minta air yang ada merk-nya."

"Dua hari lalu jadi makan siangnya nasi padang, Pak?"

Lagi-lagi Bapak mengangguk. "Pada minta makan siang nasi padang. Kalo sesekali sih nggak papa ya. Tapi kalo tiap hari, bisa-bisa Bapak mendadak bangkrut."

Mirna menahan senyum mendengar curahan hati Bapak soal pekerja yang ada si sawah. Sebagai pemilik sawah, Bapak harus memastikan semua kebutuhan pekerjanya terpenuhi. Dari makanan bahkan sampe minuman. Ada beberapa pekerja yang sangat rewel dan banyak menuntut soal makan dan minum yang sudah disediakan.

Gara-Gara Paylater (Completed)Where stories live. Discover now