Bab 21

41.4K 5.2K 234
                                    

"Mbak, kenapa sih Bunda marah-marah terus?" tanya Leona bersandar pada tubuh Mirna.

"Hmmm ... Leona waktu itu bilang kalo di perut Bunda ada Adiknya kan?" tanya Mirna yang diangguki oleh Leona. "Perempuan hamil itu memang sensitif. Kadang suka marah, kadang suka nangis, pokoknya perasaanya berubah-berubah," lanjutnya menjelaskan.

"Oh, jadi Bunda marah gara-gara Adik yang di dalam perut ya, Mbak?"

Mirna mengangguk. "Iya."

"Tapi kenapa marahnya ke Mbak Mirna?"

Mirna menggaruk kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal. "Aku juga nggak tau," jawabnya sekenannya.

"Padahal Mbak Mirna nggak ngelakuin kesalahan apa-apa," ucap Leona menimpali. "Kata Bu Dini, nggak baik kita marah-marah sama orang, itu dosa. Iya kan, Mbak?"

"Hmmm...."

"Aku lebih suka di rumah Ayah deh," cetus Leona tiba-tiba.

"Kenapa?" Mulut Mirna tidak tahan untuk tidak bertanya.

"Karena di rumah Ayah, aku bisa makan enak terus," jawab Leona senyuman lebar. "Di rumah ini, ada Ayah sama Mbak Mirna yang gantian nemenin aku belajar, main, nonton TV, sama bacain aku dongeng sebelum tidur," lanjutnya.

"Di rumah Bunda kan juga ada makanannya," sahut Mirna. "Kata Leona, Bunda suka beliin pizza."

"Iya, tapi nggak sering," jawab Leona dengan wajah sedih. "Lebih sering beli makanan di warung depan rumah. Tapi rasanya nggak enak. Atau kadang dimasakin sosis, nuget, bakso, pokoknya yang tinggal goreng aja."

Jujur, Mirna nggak tahu harus menanggapi seperti apa. Ia takut salah bicara dan membuat Leona malah makin jauh dengan Bundanya.

"Bunda nggak pernah bantuin aku kerjain tugas sekolah. Biasanya aku ngerjain tugasnya sendiri. Makanya jawabanku sering banyak yang salah," ucap Leona menundukkan kepalanya menatap jemarinya yang saling bertaut. "Aku juga nggak pernah diajak main. Bunda sama Om Sakti pernah sih ngajakin aku pergi, tapi nggak sesering Ayah. Makanya aku senang banget waktu diajak Bunda ke kebun binatang."

Mirna spontan memeluk Leona dengan erat. Bukan dia yang mengalami langsung, tapi ia justru merasa iba dengan cerita dari Leona.

"Boleh nggak sih kalo aku tinggal di rumah Ayah terus?" gumam Leona dalam pelukan Mirna. "Ternyata lebih enak di rumah Ayah dibanding di rumah Bunda," lanjutnya.

Mirna mengusap punggung Leona naik turun. "Kalopun Leona bisa tinggal di rumah Ayah, tapi Leona harus tetap sayang sama Bunda."

Leona melepaskan pelukannya dan menatap lurus ke Mirna. "Emang Bunda sayang sama aku?"

"Semua orang tua itu sayang sama anaknya. Termasuk Bunda yang sayang sama Leona."

Mendengar itu, Leona mengangguk-anggukan kepalanya. "Aku juga sayang sama Mbak Mirna. Soalnya Mbak Mirna juga sayang sama aku. Iya kan?"

Mirna tersenyum lantas mengangguk

Di luar kamar Leona, ada Yudha yang mencuri dengar pembicaraan Mirna dan Leona. Pintu kamar yang tidak tertutup rapat membuatnya bisa mendengar semua pembicaraan dengan sangat jelas. Ia kagum dengan cara Mirna menanggapi setiap pertanyaan yang diajukan oleh Leona. Tidak ada sedikitpun kesan kalau Mirna ingin menjauhkan Leona dari Ranti. Justru semua jawaban yang diberikan Mirna begitu berpihak pada Ranti. Seharusnya tidak sepantasnya Ranti menuduh Mirna dengan hal-hal yang sebenarnya tidak terjadi.

***

"Kamu beneran mau pergi?"

Mirna mengangguk.

Gara-Gara Paylater (Completed)Where stories live. Discover now