Bab 2

49.3K 4.4K 93
                                    

Mirna menoleh saat mendengar suara pintu kamarnya dibuka. Kegiatan memasukkan baju ke dalam koper otomatis berhenti. Ia memutar tubuhnya dan mendapati Ibunya masuk ke dalam kamarnya.

"Mau kemana kamu?" tanya Ibu sembari menatap koper yang terbuka.

"Mau ke Surabaya," jawab Mirna sembari melanjutkan memasukkan baju ke dalam koper.

Ibu duduk di kursi terdekat. "Ngapain?"

"Mau ikut expo karir," jawab Mirna datar.

Ibu manggut-manggut. "Berapa hari?"

"Belum tau."

"Selama di Surabaya tinggal dimana?" tanya Ibu membantu melipat baju anaknya.

"Di kontrakan Jini." Mirna merasa heran dengan sikap Ibunya yang saat ini membantunya melipat baju.

"Selama tinggal di kontrakan Jini, kamu jaga sikap. Kalo bisa bantu-bantu Jini bersihin Kontrakannya. Uang yang dari Bapak itu kamu pake buat bantu Jini bayar listrik atau air. Jadi kamu nggak tinggal gratis di sana."

"Iya," sahut Mirna.

"Jangan belanja terus. Uang yang dikasih Bapak itu harus cukup buat di Surabaya."

"Hmmm...."

"Kalo ikut expo karir, paling nggak kamu udah nyiapin CV dari rumah," ucap Ibu memberitahu. "Kamu harus tau perusahaan apa aja yang ada di expo karir. Kamu juga harus tau perusahaan mana yang mau kamu tuju," lanjutnya.

"Iya."

Saat melihat jawaban anaknya yang singkat-singkat, Ibu sadar kalau sepertinya anaknya kesal dengannya. Ia menghela napas pelan. "Ibu itu cuma nggak mau kamu terlalu boros," ucapnya dengan suara lembut. "Mungkin sekarang Bapak sama Ibu masih sehat dan bisa ngasih kamu uang bulanan. Tapi kalo suatu saat kamu belum kerja dan Ibu sama Bapak udah nggak ada, siapa yang mau kamu andelin?"

Mirna menghentikkan kegiatannya melipat baju dan menatap Ibunya. "Ibu kok ngomong kayak gitu sih?"

"Kita harus berpikir untuk masa depan. Kalopun nanti kamu udah kerja dan punya uang sendiri, lebih baik ditabung atau diinvestasiin. Jangan sampe uangmu habis cuma buat belanja aja," nasihat Ibu. "Mungkin kalo mau belanja satu atau dua kali aja boleh. Tapi jangan terlalu sering," lanjutnya.

Mirna mengangguk-anggukan kepalanya. Ia menutup kopernya dan meletakkannya di dekat kasur. Kemudian ia duduk di ujung tempat tidur, tepat di hadapan Ibunya.

"Kenapa sih nggak mau bantu Bapak di sawah?" tanya Ibu memegang kedua lutut anaknya.

Mirna menghela napas panjang. "Aku tuh mau kayak temenku yang lain, Bu. Mereka semua udah pada kerja di perusahaan besar. Ada juga yang kerja di startup company. Ada juga yang jadi guru TK. Pokoknya semuanya udah pada punya kerjaan."

Ibu tersenyum tipis. "Rezeki orang itu beda-beda, Dek. Mungkin Tuhan masih mau lihat usaha kamu lebih besar untuk bisa dapet kerja."

"Udah hampir satu bulan, Bu. Sudah satu bulan aku nggak dapet panggilan kerja. Padahal aku udah email ke beberapa perusahaan. Aku juga aktif di linkedin. Semua udah aku lakuin," ucapnya frustrasi.

Ibu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Banyak yang harus nunggu bertahun-tahun untuk bisa dapet kerja. Setiap orang punya perjalanan karirnya masing-masing," ucapnya diplomatis. "Ibu memang pingin kamu bisa cepet dapet kerja. Tapi kalo kamu belum dapet kerja, paling nggak, kamu mau bantu Bapak dan Masmu di sawah. Jangan sibuk tidur sama belaja online aja."

"Iya," jawab Mirna sekenannya.

"Kapan berangkat ke Surabaya?"

"Besok," jawab Mirna. "Aku udah beli tiket kereta buat besok."

Gara-Gara Paylater (Completed)Where stories live. Discover now