MOMEN 7 - JEBAKAN

195 34 8
                                    

Guyssss, jadwal Glow Up Moment itu hari Selasa harusnya. So, karena udah telat, aku mau ngasih 2 part khusus hari ini. Jadi, selamat membaca yaaa. Jangan lupa tinggalkan jejak.

***

Kelana menghela napas panjang saat suara peluit itu berbunyi nyaring. Disusul gerakkan melipatkan tangan di dada saat bola melayang dan berhasil ditanggap dari seorang center dari tim lawan. Setelah itu, disusullah teriakkan demi teriakkan dari masing-masing pendukung.

Selama bersekolah di SMA Unggulan Bina Bakti, Kelana sudah lebih dari sepuluh kali menghadiri pertandingan basket. Tentu saja tujuannya bukan karena dia pecinta basket, melainkan karena Bian. Setelah Lana dan Bian berteman, Lana seolah tak bisa lepas dari cowok itu. Terutama karena Bian berbeda dengan teman cowok yang lainnya. Sejauh dekat dengan cowok, Lana merasa jika Bian yang paling tahan banting. Wajar jika Lana mengeluarkan effort lebih untuk mendukung Bian.

Sama seperti saat ini. Di balik riuh suara pendukung dari tiap tim, beberapa kali Kelana mengentakkan kaki. Dia mendapati tim basket dari sekolahnya kalah power dan kalah cepat. Tim lawan bergerak begitu lincah, sementara di mata Kelana, tim dari sekolahnya seperti sedang berlari kecil, tetapi peluhnya sudah basah di mana-mana.

"Bian ayo!" teriak Lana.

Teriakkan itu membuat Bian yang wajahnya merah, menengok spontan. Senyumnya melebar.

Kelana mengacungkan bogem. "Awas kalau kalah!"

Suara itu memang pelan, kalaupun berteriak, suara Kelana tidak akan terdengar. Namun, Bian seolah mengerti. Dia tersenyum lebar dan kembali fokus ke lapangan. Dia seperti berusaha mengeluarkan tenaga yang selama ini disimpan.

Di babak pertama ini, poin tim Bian kalah jauh. Beberapa kali tim lawan melakukan shooting dari luar gartis three point yang otomatis mendapatkan tiga poin sekaligus. Beberapa kali pula di antaranya melakukan pemasukan bola dengan gerakkan meloncat yang lihai. Sementara, Tim Bian hanya baru melakukan dua kali two point yang didapatkan dengan susah payah.

Peluit mengalun panjang. Tandanya, 10 menit pertama pertandingan sudah selesai. Poin berakhir di angka 17-08 dengan kemenangan di pihak lawan. Tim lawan tertawa puas. Sementara, wajah ditekuk dari tim Bian terasa sekali hawanya hingga membuat supporter langsung bersorak, menyemangati. Kelana sendiri mengembuskan napas panjang, lantas, dia berdiri dari kursi.

"Lo mau ke mana?" tanya Puan.

"Ke toilet. Gue mau cuci muka!"

"Mau ditemenin?" Iti menyambung.

"Nggak usah. Kalian di sini aja." Kelana mengangguk, lantas melangkah melewati puluhan orang yang ada di tribun.

Saat sampai di toilet, Kelana berdiri di depan wastafel, lantas melihat wajahnya di cermin. Wajahnya yang gelap dan kusam bercampur dengan keringat di pinggir anak-anak rambut. Untuk kesekian kali, dia ikut cape dengan pertandingan semacam tadi. Meski tidak ikut bertanding, Kelana merasa greget hingga adrenalinnya terpacu.

Di babak awal saja sudah kewalahan, pikir Kelana. Bukan apa-apa. Sudah sering Kelana mendengar cerita dari Bian jika tim basket selalu ditekan untuk kembali memenangkan berbagai pertandingan. Kejayaan beberapa tahun lalu membuat pertandingan persahabatan seperti barusan harus selalu dimenangkan.

"Semoga di babak kedua, tim lo bisa lebih jeli lagi," kata Kelana sambil menyalakan air di wastafel. Dia membasuh wajah. "Gue nggak bisa bayangin kalau lo kalah lagi. Pasti lo semakin ditekan sama pihak sekolah, Bi."

Kelana tidak pernah tahu bagaimana kehidupan anak-anak ekskul di sekolah secara langsung. Bayangkan saja, Kelana adalah salah satu orang yang tidak aktif sama sekali. Dia memilih sekolah, lalu pulang. Begitu seterusnya. Namun meski begitu, dia tahu bahwa tekanan untuk anak-anak ekskul amatlah besar. Pihak sekolah menuntut prestasi dari mereka. Jika saja dalam waktu lebih dari dua tahun ekskul tersebut mati suri, maka bisa dinonaktifkan.

Kelana mematikan air. Baru saja akan membalikkan badan, dua tangannya sudah dikunci oleh orang yang entah siapa. Disusul gerakkan membekap mulut, disusul penempelan lakban tebal berwarna bening. Lantas, Kelana diseret oleh dua orang.

"Di mana pun gue berada, gue bisa ngelakuin apa pun, Lana!"

Kelana tidak pernah lupa dengan teman sekelas sekaligus musuh bebuyutannya itu. Clarissa. Bersama dua temannya yang bernama Putri dan Ayu, Clarissa melancarkan aksi.

"Bawa!"

"Mpppp!" Kelana berusaha berontak.

Sial! Belum pernah Kelana kecolongan seperti ini. Kelana selalu bisa melawan perlakuan Clarissa dan kawan-kawannya. Namun barusan, saking terlalu fokus memikirkan Bian, Kelana tidak bisa dengan sigap mencegah gerakkan dari belakang. Hingga mereka berhasil meringkus tangan Kelana dan menutup mulutnya dengan lakban.

"Gue bakal bikin lo kapok!" ucap Clarissa.

Kini, mereka ada di salah satu toilet berukuran 2x3 sentimeter. Clarissa terlihat begitu puas menyaksikan Kelana yang tidak bisa berkutik. Apalagi, tidak terlalu banyak orang yang berlalu lalang di sini. Sekolah ini diliburkan selama masa pertandingan. Dan ya, mungkin hanya ada satu dua orang yang datang ke toilet perempuan yang berada di gedung ujung sekolah ini.

"Di luar aman, kan?" tanya Clarissa kepada teman-temannya.

"Aman, Ca," ucap Putri. "Indi lagi jaga-jaga."

"Bagus!" Clarissa mengacungkan jempol.

Sekarang, Clarissa mencabut jet shower yang menempel di dinding toilet. Dia memijit benda itu dan memancarlah air dari dalam benda itu. Kelana langsung memejamkan mata karena air itu diarahkan kepadanya.

"Rasain lo!" Clarissa tertawa keras. "Makannya, lo jangan main-main sama gue. Dingin kan?"

"Mppp."

Selain Clarissa yang menyemprotkan air ke badan Kelana, kedua teman Clarissa juga melakukan aksi lain. Mereka mengeluarkan tali tambang kecil dari saku, kemudian melilit tangan Kelana dengan benda itu dibarengi tawa puas.

"Sekarang digimanain, Ca?" tanya Putri.

"Kita ikatkan tambangnya di paku itu." Clarissa menunjuk paku berukuran besar yang sering dijadikan gantungan.

Tambang yang panjangnya sekitar satu meter itu lantas diikatkan di paku tersebut. Kelana berusaha meronta, tetapi dalam situasi ini, kaki Kelana bahkan diinjak dan ditendang tanpa ampun.

"Ca, ada orang!" Indi yang ditugaskan berjaga di luar, memberi tahu dari balik pintu toilet.

"Sip!" Clarissa mengacungkan jempol.

Cewek itu memerintahkan dua temannya untuk memegangi lagi tangan Kelana. Meski tali sudah diikatkan di paku, Clarissa tahu jika Kelana tidak akan menyerah begitu saja. Dia pasti akan melakukan berbagai cara supaya keberadaannya diketahui banyak orang. Nah, tugas Clarissa adalah membekam mulut Kelana. Mulut Kelana ditutup lakban sekaligus tangan Clarissa.

Suara riuh dari luar mulai terdengar. Tampaknya, ada dua atau tidak siswi yang datang. Dua di antaranya masuk ke dua bilik kosong. Sementara satunya lagi membasuh muka di wastafel luar.

Setelah lima menit, anak-anak perempuan itu keluar lagi. Clarissa dan kedua temannya melepaskan tangan dari tubuh Kelana.

"Gue nggak tahu, lo bakal mendekam sampai kapan di sini," kata Clarissa. "Yang jelas, gue pastiin kalau lo bakal menderita. Gue udah nyiapin tulisan yang siap ditempel di pintu."

Clarissa mengedipkan mata kepada kedua temannya. Sigap, mereka membuka tas Clarissa dan mengeluarkan kertas.

"Jangan Dibuka! Toilet Rusak!"

Saat kertas itu ditunjukkan di hadapan Kelana, cewek itu langsung melotot. Dari tadi, dia berusaha berpikir positif supaya dirinya bisa segera terbebas. Namun ternyata, kesempatannya untuk bebas malah semakin kecil.

"Gimana?" Clarissa terkikik. "Selamat jadi penghuni toilet ini ya, Lana!"

Kelana hanya melotot mendapati suara penuh penekanan itu.

Clarissa memberikan isyarat kepada kedua temannya untuk keluar. Di luar toilet, Clarissa menempelkan kertas itu di pintu. Lantas, pintu dihalangi oleh kursi yang sengaja diambil dari salah satu kelas paling ujung.

Di dalam toilet, Kelana berusaha lepas dengan menarik-narik tangan yang dililit tali. Sayangnya, semakin ditarik, semakin keras tali itu mengikat. Bahkan sepertinya ada sedikit baret yang membuat tangan Kelana terluka.

***

Glow Up Moment (Tamat)Where stories live. Discover now