Momen 44 - Press Conference

127 17 0
                                    

Kelana mengeratkan tangan di pegangan kursi. Sementara, Adi berwajah keras. Untuk pertama kalinya setelah gosip itu beredar, Kelana dan Adi muncul di tempat yang sama secara bersamaan, di depan puluhan wartawan yang menyorot mereka dengan kamera masing-masing.

"Jadi apa gosip yang beradar itu benar, Pak?" tanya salah satu wartawan laki-laki.

Pertanyaan itu kontan membuat Kelana menggigit bibir.

"Lana, apa yang membuat kamu suka kepada Pak Adi?" Pertanyaan lain disusul oleh seorang perempuan dengan begitu ringan, seolah gosip itu benar.

Setelah beberapa pertanyaan yang dirasa sudah berlebihan, Adi akhirnya berdeham. "Terima kasih kepada seluruh wartawan karena telah bersedia hadir di press conference ini. Saya dan Kelana baru bisa berbicara karena waktu yang tidak memungkinkan." Adi mengangguk-angguk. "Satu hal yang harus kalian tahu. Kami memang punya hubungan spesial."

Wartawan tampaknya tidak peduli dengan basa-basi di awal. Mereka justru terpaku ke kalimat terakhir. Bukan hanya wartawan, Kelana pun ikut melotot. Sempat dia akan angkat tangan, tetapi Adi langsung mengusap tangan Kelana, tanda kalau Adi yang harus berbicara.

"Hubungan kami sangat spesial." Adi kembali menekankan ucapan itu. "Tahu alasannya?"

Wartawan serentak berteriak tidak.

"Kelana adalah putri saya. Putri kandung saya."

Kalimat pengakuan itu memantik setetes air mata jatuh. Kelana memang kecewa dan sakit hati. Namun saat Adi berbicara seperti itu, Kelana merasa getaran yang hebat. Setelah sekian lama dia tidak pernah tahu soal bapaknya, akhirnya secara terang-terangan, ada yang mengakuinya.

"Maksudnya gimana, Pak?" Salah satu wartawan terlihat tidak puas dengan jawaban Adi.

"Ini bagian dari drama selanjutnya?" Seorang wartawan perempuan berkacamata terlihat gemas.

"Kalian nunggu apa lagi? Apa belum jelas?" Adi bertanya sambil menyebar pandang.

"Belum, Pak," tegas salah satu wartawan. "Kami nggak mungkin menulis informasi yang salah untuk media kami, kan? Kami harus menyampaikan informasi yang benar."

"Ingin menyampaikan informasi yang benar?" Kelana yang sekarang bersuara. "Terus informasi yang kemarin, yang belum tentu kebenarannya, gimana caranya bisa ditayangkan di televisi dan di portal berita? Kan itu juga belum tentu kebenarannya?"

Ucapan itu mengunci mulut wartawan secara bersamaan.

"Begini ...." Adi mengangguk-angguk. "Intinya, Ken dan Lana adalah anak kandung saya. Tapi, mereka berasal dari ibu yang berbeda. Sampai sini sudah paham kan?"

Informasi itu membuat wartawan kasak-kusuk. Mungkin mereka tidak menyangka endingnya akan seperti ini.

"Soal perhatian, soal foto, soal isi chat yang tersebar, semua itu benar. Bukan rekayasa. Perhatian itu saya tunjukan untuk putri saya sendiri," jelas Adi dengan percaya diri. "Saya tidak peduli dengan apa pun yang terjadi atas terbukanya informasi ini secara publik. Saya hanya ingin menyampaikan informasi ini sebenar-benarnya. Dengan begitu, semua orang juga tahu bahwa Lana dan Ken adik kakak."

Setelah berbicara seperti itu, Adi mengangguk ke arah Kelana. Dia juga mengasongkan tangan. Awalnya, Kelana diam, tetapi akhirnya asongan tangan itu diterima. Adi mengeratkan jari-jemari di tangan Kelana untuk menguatkan.

Meski wartawan masih banyak yang mengajukan pertanyaan, Kelana dan Adi undur diri dari press conference. Kelana maupun Adi memilih tidak merespons pertanyaan yang sekiranya tidak ada hubungannya dengan pembahasan, apalagi soal masa lalu hidup Adi. Kelana tahu, tindakan Adi sudah tepat. Kelana juga tidak mau wartawan mengorek masa lalu ayah dan ibunya yang tentu saja tidak semulus perjalanan orang tua lain.

***

Kelana menyeret langkah dengan pelan dan lebih tertata. Ada sedikit senyum di wajahnya. Bahkan, dia sudah bisa bersenandung saat berjalan di lorong-lorong kantor KAM. Ya, meskipun senandung itu terhenti saat Kelana melihat Ken di depan. Ken berjalan sendirian, dengan langkah tegap dan wajah dinginnya.

Aktivitas itu mengingatkan kembali Kelana saat pertama kali bertemu Ken. Tepatnya di gedung salah satu stasiun TV, saat mengisi acara Bincang Tawa. Situasi saat itu dan sekarang hampir mirip. Dulu, Kelana belum kenal dengan Ken. Sekarang, Kelana merasa asing dengan cowok itu.

Apa yang akan Ken katakan? Tanya Kelana di dalam hati. Atau sebenarnya, Ken nggak akan ngomong apa-apa?

"Ken ...."

Langkah cowok itu terhenti. Dia melirik Kelana. Sempat ada tatapan tajam, hingga kemudian dia menghela napas pelan. Cowok itu memilih melangkah lagi tanpa menggubris sapaan Kelana.

Mendapati tanggapan yang tak diharapkan, Kelana mengusap dada. Dia tahu, Ken pasti terpukul mengetahui fakta soal ayahnya. Kelana mengerti. Jika dilihat dari sudut pandang Ken, Ken tak kalah patah hati mendapati kenyataan ini.

Kelana berjalan cepat untuk menyusul cowok itu. "Ken!"

Sekarang, Ken berbalik. Jika barusan dia tidak menjawab, sekarang suara itu mengudara. "Kenapa?"

Jarak antara Kelana dan Ken sekitar lima meter. "Makasih."

"Makasih buat apa?"

"Buat semuanya." Kelana mengangguk pelan. "Gue tahu, lo benci sama gue. Gue juga ngerti, lo nggak mungkin bisa terima gue gitu aja. Sulit bagi kita untuk nerima kenyataan itu."

Ken membeku mendengar ucapan Kelana.

"Tapi ...." Kelana menelan ludah. "Lo harus tahu, Ken. Sama lo, gue banyak menemukan kebahagiaan. Gue ngerasa ditemani. Gue ngerasa dilindungi."

"Gue ngelakuin itu semua karena Papa. Dia yang nyuruh gue ngawasin lo. Jadi sebenernya, lo nggak perlu berterima kasih!"

Ucapan itu terdengar menusuk, tetapi Kelana tetap berusaha mengulas senyum. "Apa pun alasannya, gue nggak peduli. Yang jelas, gue bahagia pernah kenal sama lo."

Ken tidak berkata apa-apa lagi. Cowok itu memilih berbalik dan meninggakan Kelana tanpa kata. Sementara, Kelana menyaksikan langkah Ken yang menyepat. Setidaknya, Kelana sudah agak tenang. Dia kembali bertemu Ken dalam keadaan baik-baik saja.

Ting!

Notifikasi ponsel menghentikan Kelana untuk berpikir tentang Ken. Kini, dia mengecek benda elektronik itu. Kelana melihat isi chat dari seseorang yang beberapa hari ini chat-nya tak pernah dibalas.

Bian Tirta Askara.

Gue udah lihat pres conference lo, Lan. Maafin gue ya. Keegosian gue bikin lo sedih waktu itu. Gue jahat, gue nuduh lo yang enggak-enggak. Padahal kenyataannya nggak kayak gitu.

Kalo lo belum bisa maafin gue, gue nggak masalah, Lan. Gue sadar, nggak mudah nerima gue yang udah ngerendahin lo.

Oh iya, lewat chat ini, gue cuman mau ngasih tahu kalau orang yang nyebarin data lo di Tiktok dan Twitter udah ketemu. Saat lo masuk sekolah, lo bakal tahu siapa pelakunya.

Setelah chat dari Bian, susul menyusul chat-chat lain. Yang paling Kelana sorot adalah chat di grup yang berisi Iti, Puan, serta Kelana sendiri.

Iti Suriti.

Lan. Gue nggak tahu harus ngomong apa. Yang pasti, gue nyesel. Gue mau minta maaf karena udah jadi temen yang jahat. Harusnya gue ngedukung apa pun yang lo lakuin. Seharusnya gue ada di sisi lo saat lo terpuruk.

Puan Adinda.

Gue juga, Lan. Tahu nggak? Sebulan terakhir, gue nangis terus di rumah. Gue sadar kalau gue salah.

Meski pesan itu Kelana baca, tetapi tidak dia balas. Dia memilih menutup ponsel, kemudian melangkah pelan. Dia bermaksud untuk menemui salah satu orang yang bertanggung jawab dalam urusan kontrak kerja. Kelana pikir, sepertinya hari ini akan menjadi hari terakhir Kelana menginjak kantor KAM.

***

Glow Up Moment (Tamat)Where stories live. Discover now