Momen 32 - Dijemput

89 17 4
                                    

Kelana melihat jam tangan. Pukul tiga sore. Dari awal Ken pindah ke sekolah ini, Kelana sudah seperti memiliki bodyguard pribadi. Pergi pulang diantar jemput. Namun sore ini, karena Kelana harus pergi les modeling, sementara Ken ada latihan basket, mau tidak mau Kelana harus pergi sendiri.

Kelana sudah memesan mobil online sejak sepuluh menit lalu. Dan ya, mobil itu sudah menunggu di depan sekolah. Kelana bisa melihat dari plat nomor yang tertera di aplikasi.

Kelana bermaksud masuk setelah sedikit berbincang dengan sopir. Di saat itulah, sebuah mobil hitam datang dan langsung mengintrupsi gerakkan Kelana. Kelana mematung, dia mendapati kendaraan yang cukup dia kenal.

"Lana." Suara itu menyeruak dibarengi kemunculan sosok pengemudi dari dalam mobil.

"Om Adi?"

"Kamu ada latihan modeling sore ini, kan?" tanya Adi.

"I-iya, Om."

"Ken telepon saya kalo dia ada latihan basket. Jadi, saya yang akan antar kamu ke studio latihan."

Tidak ada kata-kata yang mampu keluar dari mulut Kelana. Heran, takjub, sekaligus penasaran. Tidak ada bos yang sengaja menjemput talent hanya demi mengantarnya ke studio latihan.

"Jangan salah sangka." Adi berbicara lagi. "Saya kebetulan memang mau lihat progres kamu."

Embusan napas pelan mengudara. Kini, alasan Adi cukup masuk akal untuk diterima.

"Saya udah mesen mobil online, Pak," kata Kelana selanjutnya.

"Nggak masalah." Adi maju, mendekat ke supir yang sudah menunggu. "Pak, berapa ongkosnya?"

"52 Ribu, Pak."

"Oh iya ..." Adi mengeluarkan uang seratus ribu dan menyodorkannya. "Bapak nggak usah antar Lana. Dia sama saya. Untuk kembaliannya, ambil aja ya."

Mendapatkan perhatian dari seorang bos tentu saja menjadi kebanggaan tersendiri untuk Kelana. Namun yang jadi pertanyaan, Kelana tidak tahu dasar seorang Adi memperhatikan Kelana sedemikian rupa. Hal itulah yang malah membuat Kelana merasa kurang nyaman. Sampai kemudian, saat mobil Adi melaju di jalanan, Kelana mulai buka suara.

"Om, makasih lho," ucap Kelana. "Saya benar-benar nggak nyangka Om jemput saya."

"Sama-sama. Sudah seharusnya saya melakukan ini, Lana," jawab Adi. Dia berbicara dengan mata fokus ke kemudi.

"Nggak seharusnya, Pak," sela Kelana. "Saya sudah terbiasa melakukan apa-apa sendiri. Dan ... bantuan dari Bapak sejak awal sudah lebih dari cukup. Saya terlalu merepotkan."

"Enggak." Adi menggeleng tegas. "Nggak ada yang merepotkan. Saya melakukan ini pure untuk talent saya."

"Saya nggak lihat Bapak melakukan ini untuk talent lain." Kelana menghela napas. "Maaf kalau saya lancang, Pak. Tapi, apa perlakuan Bapak ke saya punya alasan lain? Maksud saya, kalau kebaikkan ini kelak harus saya bayar, saya nggak bisa terus-terusan diperlakukan seperti ini. Saya juga nggak mau berhutang budi."

"Lana ...." Adi menengok. Kini, senyumnya terpampang dengan begitu tulus. "Kamu sudah seperti anak saya sendiri. Itu alasannya kalau kamu mau dengar. Dari dulu, saya ingin sekali punya anak perempuan. Tapi ya ...."

Kelana menggigit bibir. Dia jadi ingat bahwa mama Ken sudah meninggal sejak melahirkan Ken. "Maaf, Pak. Saya jadi ngingetin Bapak sama Almarhumah istri Bapak."

Lagi, Adi terkekeh. "Nggak apa-apa. Saya sudah sepenuhnya ikhlas dengan kepergiannya sejak belasan tahun lalu. Saat ini, saya hanya bersyukur Tuhan mendatangkan kamu. Sejak melihat kamu di Tiktok, saya yakin, kamu punya potensi. Sebagai orang yang merindukan sosok anak perempuan, saya merasa bahwa mungkin kamu dikirimkan Tuhan untuk saya bimbing."

Darah di sekujur tubuh Kelana berdesir cepat. Jadi begini rasanya diperhatian oleh seorang ayah? Kelana membuang wajah ke sebelah kiri. Dia memilih melihat kendaraan yang menyiap mobil Adi sambil menghilangkan rona merah di wajah.

"Sejauh ini, apa kamu nyaman di dunia enterteint?" Adi memecah kembali keheningan.

Capek, Pak.

"Nyaman." Itulah kata-kata yang keluar dari mulut Kelana. "Meskipun masih harus beradaptasi, Pak."

"Lebih suka modeling atau acting?"

"Keduanya sama-sama susah. Saya belum bisa milih. Selama latihan pun, saya merasa belum memiliki progres. Dari kecil, saya terbiasa bantu Ibu jualan. Jadi agak gagap dipertemukan dengan kegiatan seperti modeling dan akting."

"Kalau kamu nggak nyaman, kamu bisa berhenti. Kenapa nggak berhenti?"

Mendengar pertanyaan itu, Kelana terkekeh getir. "Nggak ada pilihan, Pak. Kalau berhenti, emang ada yang jamin biaya hidup kami? Biaya operasi Ibu? Biaya ...."

"Saya bisa jamin."

Tanggapan itu membuat kening Kelana mengerut. "En-enggak, Pak. Bukan itu maksud saya. Saya hanya ingin menyampaikan jika saya hanya punya Mama. Begitupun Mama yang hanya punya saya. Setelah belasan tahun Mama berjuang, kini saya yang harus berjuang."

"Saya serius, Lana. Ken sudah sampaikan kan kalau saya siap bantu biayain semuanya? Bahkan kalau mau, saya ...."

"Bapak sudah tahu juga jawaban dari saya, kan?" Kelana menatap Adi dalam. "Selagi saya masih bisa berjuang, saya akan usahakan sendiri, Pak. Saya nggak bisa melibatkan siapa-siapa ke dalam kehidupan kami."

Ucapan itu keluar dengan percaya diri. Meskipun, Kelana ragu untuk melihat laporan keuangan dari management yang akan keluar seminggu lagi. Setelah bergabung dengan management, segala bentuk bayaran untuk Kelana masuk ke kantong perusahaan. Setiap dua bulan sekali, Kelana akan menerima laporan penghasilan bersih.

"Lana." Adi bersuara lagi, sekarang lebih pelan. "Kamu hebat. Saya terharu. Tapi saya penasaran satu hal. Selama ini, apa kamu pernah cari tahu soal ayahmu?"

Pertanyaan itu membuat Kelana terlihat linglung. Iri terhadap orang lain yang punya ayah, mungkin sering, meskipun Kelana lebih senang menyembunyikan keirian itu. Namun untuk mencari? Bukankah sejak kecil Kelana memutuskan untuk hidup berdua dengan sang mama? Jangankan mencari, bertanya mengenai latar belakang bapaknya, nama bapaknya, atau wajah bapaknya sekalipun, Kelana tidak pernah.

Setelah diam cukup lama, Kelana menggeleng.

"Kenapa?"

"Kenapa harus saya yang mencari? Bukannya dia yang ninggalin saya sama Mama? Kalau dia yang ninggalin, saya sudah bisa membaca kalau dia nggak butuh kami." Kelana mencurengkan bibir kananya. "Kalaupun ternyata pikiran saya salah, ya, seharusnya dia yang mencari saya dan Mama."

"Kalau suatu hari dipertemukan dengan ayahmu, kamu mau apa?" tanya Adi lagi.

"Hmmm." Kelana menggeleng. "Ini pertanyaan sulit, Pak. Saya nggak pernah tahu rasanya bertemu dengan bapak sendiri. Jadi ya, saya nggak tahu reaksi yang akan saya lakukan. Mungkin nangis? Mungkin meluk? Atau mungkin ngusir?"

"Kalau bapakmu ternyata selama ini nyari kamu gimana?" Pertanyaan itu terdengar emosional meski ditahan. "Maksud saya, bapakmu sebenarnya nggak ada niat ninggalin kamu. Hanya ada hal mendesak yang memungkinkan dia untuk pergi. Beberapa tahun setelahnya, dia mencarimu."

"Kayaknya nggak mungkin, deh, Pak." Perkataan Adi disambut tawa cukup keras. "Kedengeran kayak sinetron nggak sih kalau seorang bapak ninggalin anaknya karena terpaksa? Kalau dia bapak yang baik, bagaimanapun keadaannya, dia nggak akan pernah ninggalin anak dan istrinya sampai harus hidup sengsara."

Adi menyenderkan badan di punggung kursi kemudi mendengar penjelasan telak dari Kelan. Ada embusan napas yang keluar tersendat-sendat. "Ma-maaf ...."

"Maaf?" Kelana melirik Adi dengan heran. "Maksud, Bapak?"

"Maaf karena saya sudah nanya-nanya kamu soal kehidupan pribadi, Lana."

"Oh ...." Kelana mengangguk-angguk. "Nggak apa-apa, Pak. Ya, meskipun sebenarnya saya bosen karena banyak orang yang sering nanya soal bapak yang sama sekali nggak pernah saya kenal."

***

Glow Up Moment (Tamat)Where stories live. Discover now