MOMEN 27 - Pimpinan KAM

74 14 4
                                    

Huaaah. Udah lama nggak update. Nungguin ngga?

***

"Mama udah minum obat, kan?" Kelana mengangguk-angguk. "Tidurnya cukup kan selama Lana di apartemen?" Disusul senyum lebar saat informasi yang diinginkan sesuai ekspektasi. "Oh iya. Satu lagi. Biarin Mang Dadang yang ngelakuin semuanya. Mama jadi mandor aja di toko. Ya, ya?"

Lagi, bibir Kelana melebar saat mendapati jawaban memuaskan dari Ami di seberang sana. Setidaknya, jawaban itu membuat dia lebih tenang hingga bisa menurunkan ponsel dari telinga dan mengakhiri panggilan.

Kelana yang tengah terbaring di atas kasur kini terdiam. Dia mengamati pelapon yang dihias sedemikian rupi. Lampu cukup besar di tengah-tengah kamar juga menyinari wajahnya yang masih penuh make up.

Sejak pulang sekolah, Kelana dan Ken langsung pergi ke tempat syuting video klip. Ini pengalaman pertama untuk Kelana ada dalam sebuah project besar. Tidak main-main. Kelana syuting bersama Ken, juga penyanyi pop terkenal Bernama Linanda Gina yang lagi hype tahun ini. Kelana baru benar-benar merasakan bekerja di dunia enterteint di projek ini. Ada semacam tekanan yang lebih besar dari sekadar bullying di sekolah.

"Lo harus serius!" ucap director setelah take beberapa kali. "Di sini, tugas lo bukan sekadar joget-joget di Tiktok. Lo bener-bener harus acting sesuai skript dan lagu yang ada."

Ucapan itu membuat Kelana manggut-manggut, disusul dua langkah mundur.

Meski singkat, ucapan itu berhasil merobek hati terdalam Kelana. Kelana tahu jika dunia enterteint tidak pernah mudah. Dia juga pernah membaca di internet betapa besar tekanan yang didapatkan bagi para selebriti. Bahkan ada yang sampai bunuh diri karena tidak bisa meng-handle masalah. Dan ya, baru hari ini, Kelana merasakan tekanan itu. Dia yang tidak punya basic enterteiner, merasa benar-benar ciut.

Selain ucapan dari sutradara, ada perkataan dari crue. Kelana mendengar obrolan itu saat dirinya tak sengaja melipir ke ruang ganti.

"Males gue kalo syuting sama anak baru yang modal viral doang!" tegas crue itu. "Lo liat kan, gimana jeleknya acting dia? Lagian, kenapa sih milih dia? Banyak cewek cantik yang putih dan mulus."

"Gue juga heran!" jawab rekannya. "Tapi ya, kita nggak bisa ngapa-ngapain. Umumnya, orang yang lagi viral itu memang suka diagung-agungkan. Lihat aja beberapa bulan lagi, entar juga redup dan nggak akan ada yang pake."

Ada tawa di sela obrolan itu. Di sisi lain, hati Kelana seperti dipelintir dengan telak.

Tidak terasa, air mata Kelana jatuh di atas bantal setelah sadar dari lamunan. Ternyata gue nggak sepemberani itu! Selama ini, Kelana selalu berusaha berani dengan apa pun. Bahkan bully-an bisa dia lawan dengan telak. Namun ternyata, ada satu hal yang tak berani Kelana lawan. Ya, kenyataan. Pada faktanya, Kelana memang anak baru yang viral karena joget-joget doang. Skills-nya pantas dipertanyakan.

"Ini demi Mama," ucap Kelana pada akhirnya. "Gue kuat, kok!"

Lamunan tentang rasa sakit hatinya terbuyarkan oleh suara ketukan di depan pintu. Kelana buru-buru membersihkan air mata sehingga tidak ada yang tersisa setitik pun. Kelana menduga jika yang mengetuk pintu itu Sri. Setengah jam lalu, Sri keluar dengan tujuan membeli makanan.

Kelana beranjak ke luar kamar, dia lantas membuka pintu. "Sri, bukannya elo punya kunci cadangan? Kenapa harus ngetuk pin ...." Kelana menghentikan ucapan setelah mendongak. Dia menyadari jika mulutnya terlalu lancang berbicara tanpa melihat orang yang datang.

"Malam, Kelana."

Ucapan itu membuat Kelana mundur satu langkah. Tak lupa, dia refleks membenarkan rambutnya yang acak-acakkan. "P-pak Adi?"

"Saya ganggu?" tanya lelaki yang masih rapi dengan setelan jas hitamnya.

"En-enggak, kok, Pak." Kelana berusaha tersenyum. "Masuk, Pak."

Adi masuk dengan tenang. Matanya juga menyebar pandang ke setiap sela apartemen. Sebaliknya, Kelana seperti batu yang membeku di pinggir pintu. Dia masih tidak menyangka. Untuk pertama kalinya setelah satu bulan bergabung di KAM, dia bertemu dengan pimpinan utama Ken Antariksa Management. Parahnya, pertemuan itu terjadi di apartemen, saat Kelana sedang tidak dalam penampilan terbaiknya.

"Kamu betah tinggal di sini?" Adi membuyarkan lamunan Kelana.

Kelana duduk di hadapan Adi. "Betah, Pak. Terima kasih atas semuanya."

Perkataan itu membuat lelaki berjambang tipis tersebut tersenyum lebar. "Sudah seharusnya saya memberikan fasilitas terbaik ke kamu, Kelana. Bahkan kalau mau, saya bisa bantu soal ..."

"Terima kasih, Pak." Kelana berbicara cepat. "Apartemen ini sudah lebih dari cukup. Soal lain-lain, biar saya yang selesaikan."

Lagi-lagi, Adi tersenyum. Ada raut kagum di sana. "Oh iya, Mamamu apa kabar?"

"Mama sudah baikan, Pak," jawab Kelana.

"Semangat ya." Adi mengusap tangan Kelana. "Saya yakin, kamu bisa. Saya melihat keberanian dan ketangguhan di mata kamu."

Kelana memaksa diri untuk tersenyum. Hingga dia menarik tangan dari sentuhan Adipura. Rasa canggung itu terasa menyeruak. Kelana tidak pernah terbiasa mendapatkan sentuhan semacam itu dari lelaki yang lebih tua darinya.

"Oh iya, Pak. Apa ada hal penting yang ingin Bapak sampaikan ke saya?" Kelana berusaha mencairkan suasana.

"Nggak ada." Adi mengangguk-angguk. "Saya penasaran saja dengan apartemen baru ini. Lagi pula, saya belum pernah ketemu kamu, kan?"

"Saya jadi nggak enak, Pak." Mata Kelana melirik meja yang kosong, hingga dia sadar jika tidak ada segelas air pun di sana. "Ah, Bapak mau minum apa? Saya ambilkan."

"Nggak usah Kelana. Saya nggak akan lama." Adi mengangguk-angguk. "Kamu sendirian? Asistenmu di mana?"

"Sri lagi beli makanan, Pak. Saya yang ...."

"Lain kali beli online saja, Kelana." Adi langsung memotong pembicaraan. "Apartemen ini memang bagus dan dijaga dengan ketat. Tapi tetap saja, saya khawatir jika salah satu talent saya kenapa-napa." Adi menatap Kelana tajam. "Atau, saya perlu hadirkan asisten rumah tangga yang benar-benar mengurus apartemen dan makananmu?"

"Nggak usah, Pak. Saya masih bisa melakukan banyak hal sendiri. Bahkan, kalau boleh jujur, keberadaan Sri sendiri berlebihan menurut saya, Pak."

Bertepatan dengan percakapan itu, Sri datang. Dia menenteng beberapa kotak makanan dan melenggang dengan santai. Di langkah ke sepuluh, dia baru sadar ada orang yang sangat dia kenal.

"Pak Adi?" Sri buru-buru menyimpan makanan di atas meja, lantas menyalami Adi. "Bapak kok bisa ada di sini?"

"Sri." Adi tidak menghiraukan pertanyaan itu. "Masih ingat amanat saya?"

Sri mengerutkan kening.

"Jangan biarkan Lana sendirian," lanjut Adi.

"Pak, jangan marahin Sri." Kelana angkat suara. "Saya yang salah."

Adi yang awalnya akan berbicara lebih panjang, kini menegakkan badan. Dia seperti berusaha mengerem apa pun yang sempat tak terkontrol. Sampai kemudian, Adi tersenyum lagi. Dia mengangguk-angguk. "Saya memang selalu khawatir kepada talent-talent saya. Jadi, harap maklum jika kamu merasa saya berlebihan."

***

Glow Up Moment (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang