30.) N2 (Don't Love Me)

547 79 22
                                    

Happy Reading guys
*
*
*

"Gue kenal Zeya dua tahun lalu, mungkin dibandingkan lo." Melody memusatkan sorot mata pada netra legam yang selalu berhasil mengintimidasi semua orang, "Gue lebih dulu kenal dia."

Kedua netra hitam kecoklatan lebih memilih menatap kosong ke depan, sementara bagian kecil dari otak, hippocampus mulai menerawang ke masa lalu. Moment di mana Melody tak sengaja bertabrakan dengan seorang gadis di lorong rumah sakit.

Udara di sekitar lorong rumah sakit terasa lebih lembab, angin berhembus lebih kencang dan dingin ketika menyapa permukaan kulit. Andai kedua mata Melody mampu melihat dunia lebih jelas, dia akan tahu segelap apa langit sekarang. Menjadi buta sejak kecil sangat melelahkan, karena dirinya pula seorang suami harus bercerai dengan sang istri. Terkadang terbesit dalam hati, mungkinkah jika dia normal orang tuanya tidak akan berpisah?

Dia pun tak perlu menjalani hari dengan bersekolah di sekolah berkebutuhan khusus, tak akan pula mendengar olokan dari anak lingkungan rumah yang merasa paling sempurna. Hidup memang lucu, otak Melody terbilang genius. Dia bisa menghapal hanya dengan sering mendengarkan apa yang dikatakan oleh guru di sekolah, tanpa repot membaca, cukup merekam penjelasan guru dan mendengar rekaman beberapa kali. Maka, otak akan mengingat tiap pengal penjelasan materi-materi tertentu. Pikiran terlalu sibuk berkelana memikirkan khayalan yang mungkin tidak akan pernah terjadi, kedua kaki berjalan perlahan menyesuaikan irama tongkat bergerak guna memastikan di depan memang tidak ada orang lain.

Namun, berhati-hati tidak hanya berlaku pada satu pihak, pihak lain pun harus sama. Seorang gadis dengan cerobohnya berjalan tergesa-gesa dengan kepala tertunduk tanpa tahu di depan sana ada Melody. Keduanya saling menabrakkan raga lantas meringis kesakitan, si gadis menatap melihat ke arah Melody yang tengah mencari keberadaan tongkatnya yang terjatuh tidak jauh dari lokasi kejadian. Si gadis lantas membantu Melody berdiri dan mengambil juga menyerahkan tongkat putih dengan beberapa corak garis merah pada si pemilik yang langsung menerimanya sembari mengucap terima kasih.

"Kamu nggak papa?" tanyanya merasa tak enak.

"Iya," jawab Melody seadanya.

"Maaf."

"Iya, lain kali hati-hati." Keduanya lantas berpisah jalan sesuai tujuan masing-masing.

"Gue pikir itu pertemuan terakhir kita, tapi gue salah. Seolah takdir sengaja ngebuat kita ketemu. Gue selalu ketemu Zeya dengan cara nggak di sengaja secara terus menerus. Dari gue yang di bully sama anak komplek perkara gue buta. "

Masih teringat moment Melody yang ditindas oleh anak lain hanya karena dirinya berbeda, dan sepertinya Tuhan tahu malaikat yang tepat untuk membela dirinya. Dia adalah Zeya lagi-lagi Zeya datang dan menolongnya.

"Sampai gue tahu nama dia, bahkan penyakit dia."

"Mel, kenapa kamu sering di rumah sakit?" tanya Zeya penasaran sebab, bukan sekali atau dua kali dia menjumpai Melody di rumah sakit.

"Bunda aku sakit, biasanya kalau ayah kerja aku dititipin ke Bunda. Tapi karena sekarang Bunda yang sakit aku yang nemenin Bunda di sini sama Kak Dion," jawab Melody menatap kosong ke depan.

Zeya hanya ber-oh ria, pikirnya walau terlahir tidak sempurna kehidupan Melody lebih baik darinya. Dia ke rumah sakit bukan karena membutuhkan pengobatan seperti Zeya, memiliki kakak yang baik, keluarga yang sempurna. Tak seperti dirinya yang harus bolak balik menjalani cuci darah setiap minggu, adik kembaran membenci keberadaannya, mama yang entah sulit dia deskripsikan menyayangi atau hanya membebani dengan lebel murid berprestasi.

Plus For MinusWhere stories live. Discover now