Bab 44. Dia Mengatakan Cinta

1.8K 580 145
                                    

Kiko mendorong jurnalnya dengan perasaan campur aduk

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kiko mendorong jurnalnya dengan perasaan campur aduk. Dia yang selalu berpikir bahwa dia adalah salah satu manusia paling terencana di dunia, mengeluh pelan. Dia merasa kerdil. Merasa bahwa dia tidak tangguh sama sekali karena masih terkaget dengan semua masalah yang muncul akhir-akhir ini.

"Seandainya semua seperti dulu saja. Tertutup rapi walaupun pada akhirnya aku harus berpura-pura menyukai Mbak Kinanti, mungkin itu lebih baik. Semua orang tidak menjadi susah seperti sekarang."

Kiko berbalik dan menatap kursi di belakangnya. Kursi itu sudah dua hari tidak berpenghuni. Mbak Dida pergi ke luar kota untuk pekerjaan yang entah mengapa dia ambil padahal selama ini, dia jarang melakukannya. Wanita itu juga menjadi sulit dihubungi.

Kiko menoleh saat pintu kantor terbuka. Dia menghela napas pelan saat mengetahui siapa yang masuk ke kantornya sepagi itu.

"Selamat pagi."

Sekejap Kiko mencoba mengingat agama apa yang dianut oleh gadis di depannya itu? Dan dia menyadari satu hal bahwa bangsawan Djoyodiningrat banyak yang menganut Islam Kejawen. Termasuk keluarga besar Raden Roro Aneira Queentadira. Gadis yang sekarang berdiri di depannya dengan tatapan aneh.

"Pagi." Kiko beranjak dan berjalan ke arah sofa. Dia menyadari bahwa tentu saja kedatangan gadis itu bukan untuk menggunakan jasanya tapi ada urusan lain. "Duduk." Kiko menunjuk ke arah sofa. "Minum apa? Beer?"

"Eh?" Aneira menoleh kaget dan menatap Kiko sengit. Kiko tersenyum sambil berjalan ke arah pantry. Dia memanaskan air dan membuat teh lalu membawanya ke depan. Tentu saja dia bercanda menanyakan apakah Aneira mau minum beer. Itu dia lakukan hanya karena Kiko pernah menemukan gadis itu minum-minum dengan temannya di sebuah pub. Lalu kenapa dia juga ke pub? Semua karena klien jasanya adalah raja. Mereka kadang yang menentukan dimana mereka harus bertemu dan berbicara.

"Ada yang bisa dibantu?"

"Kamu itu tak acuh atau belum tahu sama sekali?"

Kiko bergumam dan bersandar ke sandaran sofa. "Perihal apa?"

"Mas Ankaa." Aneira terlihat kesal dan menatap Kiko dari ujung kaki hingga kepala.

"Kenapa dia?"

"Haduuuh...kamu itu pacarnya tapi pengetahuan kamu soal dia nol besar." Aneira mencebik.

"Sibuk aku tuh untuk sekedar kepo sama pacar sendiri."

"Haiiish. Ada perempuan cantik memepetnya terus sejak dua minggu lalu."

"Oh...siapa? Kamu? Bukannya sudah lama ya? Sudah berbulan-bulan kamu memepet Mas Ankaa."

"Aduuuh...bukan itu. Kenapa? Kamu marah?"

"Tidak." Kiko menggeleng geli. "Fighting!" Kiko mengepalkan tangan memberi semangat.

"Kalau dia lepas baru tahu rasa kamu. Saingan kamu cantik banget. Kelihatan pintar."

PINK IN MY BLUEWhere stories live. Discover now