Bab 68. Only Love Can Hurt Like This

1.8K 601 220
                                    

Tidak ada yang berani bicara

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Tidak ada yang berani bicara. Itu yang terlihat sekarang. Pagi hari setelah makan siang kemarin. Kiko yang menutup rapat mulut dan seakan sudah menguncinya, terlihat tidak memiliki keinginan untuk sibuk mencari kunci yang dia buang entah kemana. Suara Kiko hanya terdengar sesekali. Pelan dan nyaris seperti angin yang menyelusup keluar dari celah pintu yang terkunci.

Salam tetap diucapkan. Ciuman tangan dalam dan mencari berkah tetap dilakukan. Hanya saja, kadar keikhlasannya yang sedikit berkurang. Kiko tersenyum kecil pada Bapaknya dan menatap tanpa ekspresi pada Ibunya.

Kiko melajukan mobilnya keluar dari Griya Bausasran padahal itu hari liburnya namun dia memilih keluar pagi-pagi diiringi tatapan prihatin Ibunya dan ketenangan Bapaknya yang sangat mengetahui bagaimana tabiat anak gadisnya.

Menepikan mobilnya setelah melaju di jalanan selama sepuluh menit, Kiko tersenyum ke arah Mas nya yang menggosokkan kedua tangan mengusir dingin. Kiko merentangkan tangannya dan Ilman segera menyambutnya dan memeluknya erat. Tidak ada kata penghiburan yang terucap. Ikatan diantara mereka tidak perlu diperjelas semua dengan kata-kata.

Sarapan.

Ngemper di toko kalau orang bilang. Mereka akhirnya ikut mengantri untuk mendapatkan sarapan nasi pincuk yang cukup terkenal di jalan itu.

"Mobil nanti dititipkan kemana Mas?"

"Mobil kamu saja dititipkan ke rentalnya Om Bondan. Kalau perlu disewakan sehari. Lumayan."

"Hiish."

"Pakai mobil Bapak saja. Jalannya agak menanjak kok jadi aman kalau pakai mobil Bapak."

Kiko menoleh ke arah Jeep Wrangler milik Pakdenya yang terparkir di depan mobilnya. Dia mengangguk setelah yakin dengan apa yang dia lihat. Perjalanan mereka cukup jauh dan medannya tidak landai-landai saja.

Kiko tersenyum dan menerima nasi pincuk yang diulurkan oleh ibu pedagangnya.

"Sudah lama tidak mampir, Den Ayu. Sehat?"

"Alhamdulillah. Ibu gimana?"

"Alhamdulillah."

Sapaan kecil dari pedagang nasi pincuk langganannya membuat Kiko terlihat sedikit sumringah. Dia merunduk dalam dan beringsut menunggu Mas nya menerima nasinya. Mereka lalu duduk di emperan toko dan meluruskan kakinya. Memulai sarapan dengan helaan napas dalam.

"Kamu pantas ikut audisi jadi artis. Aktingmu meyakinkan."

"Harus bagaimana? Kan aku tidak mungkin membagi-bagikan kekesalan dengan orang-orang. Kalau mau berbagi itu minimal senyuman."

"Ankaa mengambil keputusan itu setelah pertimbangan banyak orang. Termasuk Bapak dan Ibunya. Lagipula kamu juga salah karena menolak bicara selama enam bulan lebih. Itu kalau di hukum pernikahan sudah cerai secara agama."

"Intinya, tidak ada aku sebagai pertimbangan Mas Ankaa mengambil keputusan apapun."

"Dia mungkin akan mengambil keputusan lain kalau bisa bicara dengan kamu."

PINK IN MY BLUEWhere stories live. Discover now