Bab 119. Penyelesaian yang Sederhana

2.5K 587 156
                                    

Atmosfer sepertinya tidak juga membaik bahkan setelah Kiko menghubungi orang tuanya dan mereka sekarang berada di Ndalem Kusumanegara

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Atmosfer sepertinya tidak juga membaik bahkan setelah Kiko menghubungi orang tuanya dan mereka sekarang berada di Ndalem Kusumanegara. Bahkan Pakde Farel dan Bude Nesa juga datang ke rumah itu menandakan situasi sedang serius. Kehadiran Pakde Galih menambah derajat keseriusan situasi itu mencapai level yang membuat Kiko semakin penasaran.

Kiko bisa merasakan kegalauan hati ibunya hanya dengan menatap wajah wanita itu yang baru saja selesai memandikan dan menyuapi eyang Lanjar. Rasa teriris hadir di hati semua orang hanya dengan mendengar suara belenggu terseret membentur lantai. Eyang Lanjar yang terlihat melemah dan wajahnya sangat pucat, berkali-kali menegaskan agar tidak ada satupun melepaskan belenggu di kakinya. Dia meminta kembali kunci yang ditemukan oleh Ilman. Bahkan setelah selesai mandi dan harus mengganti bajunya, yang pertama kali ditanyakan nya adalah kunci itu.

Kiko menoleh pada Mbak Dida yang baru saja menyelesaikan tadarusnya. Wanita yang memakai mukena hijau itu memasang kembali jilbabnya. Kiko beringsut ke arah wanita itu.

"Mbak, kok aku kepikiran Mas Ilman dan Mas Ankaa ya? Apa tidak berbahaya mereka mendatangi rumah pertanian Pak Baco?"

"Mereka membawa beberapa orang untuk berjaga, Dek. Tenang ya."

Kiko mengangguk walaupun ragu. Dia membantu Mbak Dida melipat mukenanya dan duduk membisu. Kiko menoleh ketika Mbak Dida menepuk punggung tangannya. "Makan ya."

Kiko menggeleng. "Belum pengen Mbak..."

"Makan itu bukan masalah belum atau sudah pengen. Ayo. Nanti sakit malah tidak bisa apa-apa. Yok."

Kiko menghela napas pelan dan menyambut uluran tangan Mbak Dida. Mereka melangkah keluar dari paviliun dan melintasi halaman menuju rumah induk. Di selasar samping, mereka bertemu dengan Pakde Farel yang meminta mereka untuk membuka semua pintu dan jendela.

"Kamu makan dulu biar Mbak yang kerjakan." Dida mendorong Kiko ke koridor menuju ruang makan. "Mbak...tolong dibantu Mbak Kiko, nggih." Mbak Dida menepuk pundak seorang abdi dalem yang kebetulan ada di depan koridor. Kiko menatap Mbak Dida yang segera bergerak gesit melintasi aula dan naik ke lantai 2.

Kiko mengikuti abdi dalem wanita yang mempersilahkannya menuju ruang makan. Dia mencoba membuat dirinya tenang. Sebuah usaha yang akhirnya menjadi begitu sulit. Tentu karena dia khawatir dan kepo setengah hidup.

Sementara itu di rumah pertanian yang terlihat semakin sunyi. Rumput di halaman rumah mulai meninggi dan tidak terawat seperti dulu. Pagar kayu pembatas beberapa lepas dari penopangnya. Tidak ada kuda yang merumput di halaman samping seperti yang lalu-lalu. Padahal, dengan adanya kuda-kuda yang merumput seperti dulu, jelas membuat rumah pertanian itu terasa prestis nya.

Ankaa menatap pos yang kosong dan kusam. Dia melajukan mobilnya lebih ke dalam sementara Ilman memberi kode agar mobil orang-orang yang mereka bawa mengikuti. Mereka akhirnya parkir tepat di depan teras dan segera berpencar.

PINK IN MY BLUEWhere stories live. Discover now