Chapter 1

15.4K 2.2K 723
                                    

Caraka Mahawira sama sekali tidak percaya dengan hari sial, baginya seluruh hari adalah hari baik. Namun, sepertinya hari ini dia mulai percaya bahwa hari sial memang ada. Pasalnya secara beruntun dia mengalami kesialan. Pertama, dia terlambat dengan jadwal penerbangannya. Kemarin dia harus pulang ke Bandar Lampung untuk mewakili ayahnya menghadiri acara pernikahan salah satu kerabat. Nasib sebagai anak tua, relasi kekerabatan adalah salah satu yang mahal dan harus dijaga, sehingga harus dia yang menggantikan datang ketika ayahnya berhalangan hadir.

Hari ini dia memutuskan untuk segera pulang, jadwal pesawatnya di pukul 1 siang dan dia terlambat akibat lupa memasang alarm di ponselnya—padahal hanya telat 5 menit saja. Entah apa yang merasuki pikiran seorang Caraka Mahawira. Dia semalam begadang sibuk menonton youtube Windah Basubara sampai tidak sadar tidur di pukul 3 pagi. Kedua, dia tidak bisa membeli tiket lain karena penerbangan ke Jakarta sudah tidak ada lagi. Ketiga, dia akhirnya hanya bisa pulang menggunakan bus.

Di sinilah dia berada. Di dalam sebuah bus yang AC-nya tidak terlalu dingin. Aroma minyak angin menyebar di mana-mana menusuk indera penciumannya bercampur dengan aroma keringat dan feromon berbagai macam manusia. Seorang penjual kacang naik ke bus menawarkan dagangan. "Kacang-kacang! Kacangnya Kak?"

Cowok berambut gondrong itu mengangkat tangan. "Maaf, Mas," tolaknya (masih) berusaha sopan.

Baru hilang satu sumber suara, muncul suara lain, seorang pengamen banci naik dengan memegang speaker berukuran besar dalam jinjingan. Suaranya melebihi suara hajatan dari depan Gang. Caraka mengusap telinganya. Harusnya dia bisa naik bus yang lebih bagus, sayangnya hari itu semuanya penuh. Tersisa bus ekonomi saja yang kualitasnya sebanding dengan harga murah.

"Minggir woi, gua duluan di sini!" si pedagang berbadan ringkih itu menghalangi jalan si pengamen banci.

"Enak aja, gua duluan. Gua sentil mah mental lu dasar bocil." Si Banci tidak mau kalah.

"Lah lu kagak liat speaker lu segede gaban noh."

"Emang apa urusan elu?"

Pertengkaran itu berlangsung di depan mata Caraka seolah ada laga gulat yang sebentar lagi akan terjadi. Mereka saling berhadapan sementara Caraka menjadi saksi mata. Cowok itu menelan ludah, berharap perang dunia tidak terjadi. Kali ini Cina dan Amerika sedang panas, tapi adegan di hadapannya jauh lebih mengerikan lagi.

Caraka memijat kepalanya. Berharap semua kesialan ini segera berakhir dengan nasib baik segera berpihak kepadanya. Sang pengamen akhirnya turun. Kalau kata Ibu Kartini, habis gelap terbitlah terang, tapi peribahasa yang cocok untuk Caraka adalah habis gelap terbitlah gelap lagi. Hilang satu kesialan, berbiak yang lainnya. "Halo permisi, ini kursi aku, ya?" seorang cewek berambut pendek sebahu dengan style aneh muncul; sweter tebal, rok tutu model polkadot dipadu dengan pantofel. Sebuah kain berwarna biru magenta terlilit di lehernya. Mengingatkan Caraka dengan gaya berpakaian Helena Bolham, tapi kalau Helena yang memakai jadinya ikonik, sementara gadis di hadapannya itu terlihat norak.

Lelaki itu mengangguk, mempersilakan gadis itu duduk di sebelahnya. "Kalau aku pindah ke jendela boleh nggak? Aku mual kalau duduk sini." Sepertinya Tuhan sedang menguji Caraka dengan ujian bertubi-tubi.

"Nggak." Caraka menolak dingin. Dia sengaja duduk dekat jendela agar posisinya lebih luas. Gadis aneh itu terlihat kecewa, tapi hanya beberapa detik saja, selanjutnya dia duduk di kursinya sambil tersenyum lebar.

"Namaku Anindita Keshwari, panggil aja Anin. Kalau kata Ibu, arti namaku berarti jantung hati penyejuk keluarga. Padahal aslinya aku yang bikin Ibu darah tinggi kalau di rumah hehe. Kamu namanya siapa?" Informasi yang sebenarnya tidak penting, Caraka tidak mau tahu arti namanya atau asal-usulnya.

Cita Cinta CarakaWhere stories live. Discover now