CHAPTER 2

6K 1.4K 1K
                                    

Mana nih para "Ara" alias Ayangnya Caraka, coba sini muncul. Biar aku hapal orang-orangnya. Komen yaa kalian dari kota mana aja!

Selamat membaca dan bertemu dengan Caraka Mahawira

---

Anindita sampai di Jakarta pagi hari. Matahari baru saja terbit dari Timur. Dia menghirup udara ibukota. Bukan aroma garam yang terhirup melainkan debu dan asap polusi kendaraan. Bukan suara debur ombak yang menyapanya melainkan bising kendaraan. Bukan pula pemandangan nelayan sibuk mengambil jaring untuk bersiap naik ke perahu layar, melainkan orang-orang berpakaian rapi nan necis yang sibuk dengan ponselnya sambil menyeberang. Pantas saja ada istilah ibu tiri tidak sekejam ibukota, lihat saja baru jam 7 tapi aktivitas sudah padat merayap. "Kaaak, Kak Anin!" seseorang melambaikan tangan. Anindita samar-samar teringat wajahnya.

Pak Supri. Supir ayahnya.

Ayahnya juga sempat mengirimkan foto Pak Supri via Whatsapp, jaga-jaga seandainya Anindita terlupa.
Gadis itu mendekat sambil membawa satu dus bawaannya dan tas jinjing berukuran besar berisi baju-baju. "Selamat pagi, Pak. Wah udah lama banget nggak ketemu Bapak. Makin cakep aja nih, Bapak."

"Wuish, Kak Anin bisa aja. Terakhir kita ketemu, Kak Anin masih piyik. Gimana perjalanannya, Kak? Capek?"

"Capek, sih, tapi senang banget. Oh ya, Ayah di mana?"

"Di rumah, Kak. Yuk, kita langsung aja ke rumah. Sini Bapak bawain."

Anindita masuk ke mobil Fortuner seri terbaru milik ayahnya. Gadis itu tak henti-hentinya mengagumi kendaraan, tangannya mengelus pelan kursi mobil. Tidak membayangkan bisa memiliki kesempatan naik mobil mewah. Kendaraan itu lantas melaju. Sepanjang perjalanan menuju ke rumah, Anindita melihat bagaimana perilaku warga ibukota. Mempelajari dalam diam agar dia bisa dengan mudah beradaptasi. Hingga akhirnya mobil itu memasuki sebuah gerbang besar. "Sampai di rumah, Kak," seru Pak Supri.

Perhatian Anindita terkagum melihat betapa mewah rumah yang terbentang di depannya, persis seperti rumah-rumah yang sering Anin tonton dalam televisi dan dia berandai-andai bagaimana rasanya menjadi anak dari orang kaya yang bangun pagi langsung disuguhkan sarapan sandwich serta segelas susu atau jus jeruk. Anindita berdecak menghitung deretan mobil mewah yang dia lewati begitu masuk ke lorong yang membawanya ke pintu.

"Permisi Pak, ini Kak Anin sudah datang." Pak Supri mengambil alih perhatian deretan orang yang duduk di balik sofa besar. Anindita melihat ayahnya—yang rambutnya terlihat memutih dan jauh lebih kurus dari kali terakhir dia lihat—sosok ayah yang sering ada dalam mimpinya saking rindunya Anin untuk dikunjungi. Lalu dia melihat seorang wanita yang berusia ibunya duduk di sebelah ayahnya, Anin bisa menebak dia pasti Nia, istri pertama ayahnya.

"Anin ...," ayahnya beranjak lalu memeluknya. "Udah besar kamu, Nduk." Dikecupnya kening Anindita—kecupan yang masih sama seperti bertahun-tahun lalu, kecupan yang dulu sering Anindita dapat ketika dia mau tidur—hingga akhirnya kecupan itu dipaksa menghilang ketika istri pertama ayahnya datang ke rumah, dan Anin harus menerima kenyataan bahwa dia harus berbagi ayah dengan orang lain.

Terdengar bunyi batuk Nia yang membuat ayahnya melepaskan pelukan.

"Pak Supri terima kasih sudah dibawakan, silakan kembali ke pos, dan kamu ..., siapa nama kamu?" Anindita bergegas bersalaman dengan Nia, yang segera ditepisnya keras.

"Anindita, Tante."

"Kamu kotor, sebaiknya segera bersih-bersih, kamar kamu ada di bawah tangga. Tolong dibersihkan sendiri, satu lagi, pembantu hanya untuk keluarga saya ... kamu statusnya orang lain di rumah ini, jadi tolong sadar diri."

Cita Cinta CarakaWhere stories live. Discover now