Chapter 5

2.8K 918 1K
                                    


Kiw, ketemu lagi sama Caraka Mahawira di sini.

Coba absen dong kalian baca ceritanya jam berapa?

Spam jari metal ala Caraka dulu dong sebelum baca,

Happy reading!

Janitra Naladipa sama sekali tidak menyangka ketika dia masuk kelas rupanya melihat sosok yang ingin sekali dia musnahkan duduk di antara puluhan mahasiswa baru. Rupanya Anindita masih di sana, padahal Janitra mengira dia sudah pulang, kembali ke kampungnya bersama ibunya, si penghancur rumah tangga orang itu. Perhatian Janitra tertuju dari atas kepala ke ujung kaki, melihat betapa noraknya penampilan Anindita. Sepatunya paling jelek di antara yang lain. Bahkan Janitra bisa melihat ada bercak kepinding di seragam Anin. Janitra juga tidak mengerti dari sedemikian banyaknya universitas di Jakarta, kenapa ayahnya memilih untuk menguliahkan Anin di tempat yang sama dengannya.

Apa ayahnya itu mau membandingkan Anin dengannya?

Apa ayahnya butam kalau dari segala hal tentu saja Janitra jauh di atas segalanya daripada Anin.

Sejak tadi Anin menunduk, terlihat sekali bahwa dia menghindar untuk menatapnya. Bagus. Itu tandanya dia sadar posisi. Janitra tidak akan membiarkan kehidupan seorang Anindita baik-baik saja selama di Jakarta. Dia akan balas dendam. Sebagaimana ibunya Anin telah menghancurkan kehidupan keluarganya. Dia akan membalas malam-malam di mana dia mengintip ibunya menangis hanya karena perlakuan dari ibu Anindita yang dengan sengaja merebut ayahnya.

Janitra melihat Anindita izin ke toilet. Diam-diam dia mengikuti, menunggu di wastafel sementara Anindita masuk ke bilik. Begitu Anin keluar dari balik pintu, terkejutlah gadis itu menemukan Janitra sudah ada di depannya. "Gue kira lo milih balik ke kampung, rupanya nyali lo oke juga," sahutnya sembari menatap Anin tajam. Tatapannya mengintimidasi sampai Anin mundur beberapa langkah hingga tubuhnya berhadapan dengan tembok.

"H ... hai, Kak."

"Bagus-bagus lo di kampung, kenapa justru kepikiran ke Jakarta? Belum puas ya nyokap lo ngehancurin keluarga gue? Lo mau ngerebut perhatian Ayah?"

Anindita menggeleng. "Ayah yang nyuruh aku ke Jakarta."

"Nyokap lo ngerencanain sesuatu, ya? Dia mau nguasain harta Ayah, kan? Oh iya dong, karena misi sebelumnya gagal. Dia mau nikah sama Ayah dengan harapan bisa jadi istri orang kaya. Ternyata usaha Ayah bangkrut. Beda istri emang beda rezeki, ya. Nyokap lo sama lo itu harusnya sadar kalian semua pembawa sial. Terus waktu Ayah balik lagi ke keluarga lamanya, berusaha ngerintis lagi dari awal, usahanya sukses lagi, lo datang. Otak lo tuh licik ya nggak sepolos wajah lo." Janita mendorong kening Anin dengan telunjuknya.

"Nggak, aku sama Ibu nggak ngerencanain apa-apa. Aku cuma mau kuliah dengan baik di sini, terus pulang ke kampung. Lagipula dia juga ayah aku, masih kewajiban Ayah kan buat nyekolahin aku."

"Ooh gitu, udah pintar ngomong ya? Siapa yang ngajarin lo ngomong begitu? Nyokap lo?"

"Bertahun-tahun aku dan Ibu nggak nuntut apa-apa, Ibu juga udah terima nasibnya sebagai istri kedua. Terus, kalau sekarang Ibu meminta Ayah buat memenuhi kewajiban aku, itu salah?"

"Salah."

"Lagipula semua kebutuhan Kakak udah terpenuhi, kan? Apa salahnya kalau berbagi sedikit ke aku? Dari kecil Kakak hidup nggak kekurangan apa pun dari segi materi."

"Lo—" Janitra merengkuh dagu Anindita, mencengkeram rahangnya keras sampai pipi Anindita terasa nyeri.

"Permisi, Kak." Sepertinya hari itu Tuhan mengirimkan pertolongan melalui seseorang yang masuk ke dalam toilet dan mengurungkan keinginan Janitra untuk menghabisi Anindita detik itu juga. Anindita mempergunakan kesempatan itu dengan melarikan diri, kembali ke auditorium sebelum dia berubah jadi ayam geprek. Persis seperti yang diucapkan oleh Caraka.

Cita Cinta CarakaWhere stories live. Discover now