Chapter 3

4K 1.1K 1K
                                    

Kiw, ketemu lagi sama Caraka Mahawira di sini.

Coba absen dong kalian baca ceritanya jam berapa?

Spam jari metal ala Caraka dulu dong sebelum baca,

Happy reading!

***

Janitra masih ingat bagaimana sebuah kejadian terjadi di rumahnya satu bulan lalu. Waktu itu keluarganya sedang makan malam, dia, ibu dan ayahnya di sebuah restoran mewah di salah satu hotel bintang lima di tengah pusat kota Jakarta. Tiba-tiba saja ayahnya membuka percakapan yang membuat dia dan ibunya marah. "Kalian masih ingat kan dengan Anindita?"

Tanpa tanda-tanda, ayahnya mengungkap satu nama yang dianggap selayaknya hama dalam keluarga. Anindita. Nama anak dari seorang wanita yang akan selamanya Janitra anggap sebagai wanita genit yang menghancurkan keluarganya. Janitra masih ingat bagaimana patah hatinya dia begitu mengetahui ayah yang dia tahu sebagai pelindung keluarga ternyata mengkhianati kepercayaannya.

Entah siapa yang salah, waktu itu dia baru saja pulang sekolah, ibunya menjemput Janitra, membawanya ke luar kota. Lalu mengunjungi sebuah pedesaan yang jauh sekali jaraknya hanya untuk menunjukkan sebuah pemandangan yang selamanya akan menjadi memori menyakitkan di sudut kepala Janitra. Dia melihat ayahnya itu sedang ada di sebuah rumah bersama dengan seorang wanita dan juga anak perempuan yang lebih muda darinya, terlihat tertawa, begitu bahagia.

Semenjak itu dia tumbuh dengan pertanyaan dalam kepalanya, apakah dia belum berhasil menjadi sosok anak membanggakan untuk ayahnya sampai akhirnya ayahnya itu memiliki seorang anak lain dan terlihat sangat bahagia di keluarga keduanya?

Padahal Janitra sering mendengar cerita bagaimana usaha kedua orang tuanya agar dia dapat lahir setelah menunggu waktu lima tahun bahkan pernah mencoba satu kali bayi tabung yang ujungnya gagal, rupanya di tahun ke enam pernikahan, ibunya hamil. Sempat juga terlintas di kepala Janitra, apakah justru karena kelahirannya yang menyebabkan ayahnya tidak bahagia?

Puncaknya ketika Janitra usia 10 tahun, selama dua tahun ayahnya menghilang. Dia yang seharusnya bisa menikmati masa bermain harus sering berada di rumah karena kondisi mental ibunya tidak stabil. Dia menemani ibunya menangis, dia menjadi saksi bagaimana ibunya berdoa setiap malam agar ayahnya kembali sampai akhirnya doa ibunya seolah didengar. Ayahnya bangkrut dan barulah dia pulang, keluarga ibunya terlalu baik hati untuk kembali menerima ayahnya dengan persyaratan dia harus menceraikan istri keduanya itu. Namun kembali ayahnya ke rumah tidak berhasil menyatukan kembali ruang kosong dalam hati Janitra.

Kemudian memori menyakitkan itu muncul lagi, ketika Janitra merayakan ulang tahun ke 17. Hari yang seharusnya menjadi hari paling membahagiakan seumur hidupnya justru dihancurkan kembali dengan ayahnya yang membawa Anin ke perayaan.

Tentunya begitu mendengar keinginan bahwa ayahnya akan membawa anak dari wanita brengsek itu, Janitra yang paling pertama menolak. Dia langsung menghentikan makannya. "Aku nggak setuju."

"Dia juga adik kamu, Nitra. Kehidupan kamu tuh jauh lebih baik kalau dibandingkan dengan dia, dari kecil dia sudah hidup susah, sedangkan kamu—"

"Oh ya? Kehidupan aku jauh lebih baik dari dia? Ayah tahu apa sih tentang aku?!" Janitra berteriak.

"Janitra ....,"

Melihat Janitra marah, ibunya tidak bisa berkutik. "Aku nggak setuju, apa pun alasan Ayah buat narik anak pembawa sial itu, aku nggak mau satu rumah sama dia!" Lalu Janitra pergi.

Cita Cinta CarakaWhere stories live. Discover now