Chapter 21

2.4K 711 1K
                                    

Anindita bangun lebih awal dari biasanya. Dia membutuhkan waktu untuk bercermin, mencari baju yang pas, padahal biasanya juga mengambil baju apa pun dengan sembrono. Kali itu dia mendesah jengah, kali pertama seumur hidupnya, Anindita baru merasakan kalau bajunya memang sedikit dan no-rak. "Pakai apa dong!" tanyanya bingung. Lalu dia melihat sebuah baju yang tidak pernah dipakainya. Dress milik ibunya.

Gadis itu langsung mengambil dress bunga-bunga berwarna biru laut, memakainya, dan tersenyum lebar. Dress itu terlihat cantik dan pas di tubuhnya seakan memang diciptakan untuk seorang Anindita Keshwari. Lalu dia menyisir rambut. Berpikir sepertinya butuh sesuatu yang beda. Alhasil dia memakai jepitan yang pernah diberikan Dian untuknya, tetapi tidak pernah dia pakai. Dia mengirim chat ke Caraka untuk tidak menjemputnya di rumah, tetapi cukup jemput di perempatan gang saja. Awalnya Caraka menolak, "apa sih Nin cowok jemput cewek depan gang rumah itu nggak banget! Nggak ah, aku mau jemput kamu depan rumah."

Anin menolak keras karena tidak ingin mengundang pertanyaan dalam kepala Janitra. Alhasil Caraka setuju saja.

"Nduk, nggak sarapan?" Ayahnya rupanya sudah duduk di meja. Tumben sekali, biasanya jarang ada di rumah.

"Ayah ... iya aku buru-buru."

Sudah ada Tante Nia dan Janitra yang sedang menikmati kudapan. "Udah bawa bekal juga." Dia mengangkat tas bekal yang sudah dia masak subuh tadi. "Aku berangkat ya, Yah, mau ada ujian di kampus." Dia mendekat, bersaliman dengan ayahnya. Lalu dia beralih ke Tante Nia.

"Nggak perlu, tangan saya masih kotor." Tante Nia masih terlihat dingin dan berjarak.

"I ... iya, aku berangkat ya, Tan, Kak." Dia melirik Janitra yang tidak menatapnya sedikit pun. Kalau begitu, dia jadi rindu suasana sarapan di kampung. Ibunya akan duduk bersamanya di meja makan, kadang tidak makan. Dia hanya membantu menuangkan air ke gelas sambil tersenyum lebar melihat anaknya makan dengan lahap, lalu tangannya akan mengusap kepala Anindita.

Anindita berlari sepanjang jalan dan akhirnya menemukan mobil Caraka sudah menepi di pinggir trotoar. Dia membuka pintu, terkejut menemukan Caraka sedang tertidur. Begitu mendengar suara pintu ditutup, barulah cowok itu membuka mata. "E—sori sori aku ketiduran." Anindita menempelkan tangannya di kening Caraka. "Kamu kenapa? Sakit?"

"Nggak." Caraka memandangi Anindita, pacarnya, gadis kesayangannya. Seulas senyum terukir manis di lekuk bibirnya. "Cantik banget Ayangnya Caraka yang satu ini, pake dress lagi ... terus jepitnya, aduh nggak kuat, tolong!"

"Kak, apaan deh, lebaynya kumat udah nggak bisa ketolong lagi." Lalu mobil mulai melaju pelan. Anindita menoleh, menemukan Caraka bersendawa beberapa kali seperti masuk angin. Lalu cowok itu mengusap-usap perutnya. "Kamu pagi-pagi minum kopi, ya?" tanyanya menyelidik seperti detektif yang menemukan sebuah kejanggalan dari kasus pembunuhan.

"Kok kamu tahu?" Caraka menoleh, menatap Anindita horor, seperti seorang anak yang ketahuan ibunya makan permen manis padahal sedang batuk.

"Kan aku udah bilang kalau pagi jangan minum kopi, gimana sih?! Kamu tuh punya asam lambung, Kak. Pasti belum sarapan langsung minum kopi, kan?"

"Aku ngantuk, Nin. Semalem begadang ngerjain tugas, baru bisa tidur jam tiga subuh."

"Iya udah berhenti di minimarket depan itu, deh."

"Ngapain?"

"Beli obat."

"Nggak usah, nanti juga sembuh."

"Nggak. Berhenti sekarang!" Anindita terlihat keras kepala, akhirnya Caraka mengalah. Untuk kali pertama seumur hidup dia mengalah. Biasanya dia tidak pernah mau kalah dalam perdebatan, apa pun gendernya, meskipun itu dengan perempuan. Bagi Caraka, kesetaraan gender juga perlu diterapkan ketika berdebat. Namun kali ini Caraka menepikan mobil, membiarkan Anindita turun dan masuk ke minimarket. Beberapa menit dia menunggu sampai akhirnya gadis itu kembali, membawakan sebuah tablet mag. "Kunyah."

Cita Cinta CarakaWhere stories live. Discover now