Chapter 4

3.4K 993 1K
                                    

Kiw, ketemu lagi sama Caraka Mahawira di sini.

Coba absen dong kalian baca ceritanya jam berapa?

Spam jari metal ala Caraka dulu dong sebelum baca,

Happy reading!



Caraka Mahawira terbangun dari tidur lelapnya begitu mendengar suara tawa seseorang gadis di rumahnya. Dia terkesiap, matanya terbelalak, tubuhnya terduduk secara refleks di atas ranjang. Kakinya menapak di lantai. Dingin. Dia lalu menekan remot yang otomatis membuka gorden kamar, cahaya masuk secara perlahan menyusup melalui gorden yang perlahan tersibak. Pria itu beranjak keluar lantas menemukan pemandangan langka di rumahnya. Rasanya begitu asing dan aneh melihat ada seorang gadis bisa tertawa terbahak-bahak di tengah rumahnya yang terasa seperti mati suri.

Ibunya meninggal tepat setelah melahirkan Ratih, sejak hari itu tidak ada lagi suara wanita memenuhi rumah, selain suara Teh Yati, pembantu rumah tangga yang akan datang di pagi hari dan pulang ketika seluruh tugasnya selesai atau Nenek dan Tantenya yang sesekali datang menjenguk. Biasanya Ratih selalu sendirian, adiknya itu homeschooling sejak kecil. Kebetulan lagi rumahnya berada di kompleks perumahan elit yang tidak banyak anak kecil, ada sih beberapa, tapi kebanyakan mereka pun jarang bermain. Ratih semakin terkungkung dalam gelembung.

Namun kini yang Caraka temukan di depannya adalah Ratih sedang berjoget ria di ruang tengah bersama Anindita. Mereka mengenakan syal sementara lagu Memandangmu milik Ike Nurjannah menjadi latar pengiring. Tak lupa di kepala Ratih memakai topi koboi berwarna pink lengkap dengan kacamata yang mencolok. Keduanya berjoget ria seolah menciptakan sebuah dunia di mana hanya ada mereka berdua di dalamnya.

"Memandangmuuuu .... Walau selaluu ... Tak akan pernah kuberi ... Jemu di hatiku." Suara Anindita yang seperti suara kambing kejepit itu melengking sambil memegang vas bunga kecil di tangannya. Berlagak seolah dia adalah rockstar di atas panggung. Bahkan menurut Caraka, suara kambing mengembek saja jauh lebih merdu didengar daripada suara menyanyi Anindita.

Ratih naik ke atas kursi, melompat-lompat. Gadis itu masih tidak sadar kalau abangnya sudah melipat tangan di depan dada dengan kaki tersilang. Begitu Ratih berbalik dan menemukan Caraka di belakangnya, kontan saja kakinya yang melompat segera mendarat bebas dengan kepala mencium lantai.

Caraka langsung berlari. "Aduuuh, sakit nggak?" dia mengusap kening Ratih. Memastikan keningnya tidak benjol. Lalu menggosokkan kepala Ratih dengan rambut gondrongnya.

"Abang ngapain di situ?" tanya Ratih dengan bahasa isyarat.

"Kamu yang ngapain? Pasti lo kan yang ngajarin?" Caraka melirik Anindita dengan tatapan jengkel, "baru sehari tinggal di sini udah bikin rese."

"Itu tuh alarm selamat pagi, tahu. Selamat pagi Kak Caraka!" Anin menyapanya dengan bersemangat. "Liat aku belajar apa," gadis itu menggerakkan tangannya dan mengucapkan sesuatu lewat bahasa isyarat. "Aku lagi belajar bahasa isyarat," geraknya. "Mulai hari ini aku mau kursus bahasa isyarat sama Ratih," lanjutnya.

"Kamu jelek dan pendek." Caraka menggerakkan tangannya. Ratih tertawa. Dia mengira Anin tidak mengerti, rupanya gadis itu cepat juga menangkap.

"Awas nanti kamu kena kutukan, jatuh cinta sama aku."

"Jatuh sama cinta sama elo? Nunggu matahari terbit dari barat noh!" balas Caraka tidak terima.

"Ulah hilap ka sarapan, jadi beuteung anjeun henteu kosong kawas jantung anjeun." Teh Yati menginterupsi dengan membawakan urap basah ke meja makan.

Cita Cinta CarakaWhere stories live. Discover now