Chapter 9

2.5K 823 1.1K
                                    

Perlahan tapi pasti, Anindita membuka kelopak matanya dan merasakan seseorang memercikkan air ke wajahnya. Kontan saja dia megap-megap seperti ikan yang dibawa ke daratan lantas menarik tubuhnya duduk. Janitra berdiri di hadapannya sambil memegang segelas air. "Enak banget lo, ya, mimpi indah Tuan Putri?" teriak Janitra. "Bangun lo, siapin sarapan! Jangan kayak Ratu deh lo di rumah ini. Ayah udah pergi, jadi nggak usah carmuk lo minta dibela."

Anindita mengusap wajahnya sambil melirik jam dinding. Baru pukul setengah tujuh pagi. Anindita menguletkan badan, dia berniat untuk tertidur lagi. Namun Janitra memelotot ke arahnya. Kalau tatapan membunuh, mungkin dia sudah terkapar di lantai. "Mau tidur lagi lo? Bantuin tuh Bi Yuli!"

"Iya iya. Aku cuci muka dulu."

"Buruan!" Janitra meninggalkan kamarnya.

Tidak ingin melihat si Nenek Lampir kian meradang. Gadis itu bergegas sikat gigi dan cuci muka. Lalu keluar kamar. Dia berjalan menuju ke dapur, menemui Bi Yuli yang sedang memasak. "Mau aku bantu apa, Bi?"

"Potong-potong aja sayurnya, Kak."

Dia mematuhi perintah Bi Yuli, urusan potong-memotong adalah hal kecil untuk Anindita. Dia sering membantu ibunya memasak kalau di dapur. Begitupun seandainya ada acara besar, pastilah tenaganya dibutuhkan. "Bi, Kak Janitra itu sukanya apaan sih?" tanyanya sambil memotong wortel menjadi lebih kecil.

"Kak Janitra mah makannya pemilih, tapi dia biasanya suka banget sama capcai. Kalau ada capcai, makannya bisa lahap."

"Serius? Kak Janitra suka capcai? Kok sama kayak aku." Anindita mencuci wortel. "Kalau gitu aku yang bikin ya, Bi? Aku di rumah sering banget bikin capcai."

"Boleh banget, Kak." Bi Yuli tersenyum menyetujui, membiarkan dapurnya diinvasi oleh seorang bocah ingusan seperti Anindita. Anindita memasak dengan cekatan, menumis bumbu, lalu memasukkan sayur. Tak lupa dia menambahkan biji wijen dan larutan tepung jagung agar mengental. "Bi, cobain deh." Dia menyerongkan spatula ke tangan Bi Yuli yang segera dicoba wanita bercepol itu.

"Enak, Kak."

"Beneran? Nggak kurang apa-apa?"

Bi Yuli mengangkat jempol. Anindita memasukkannya ke dalam mangkuk, lalu dia membawanya ke meja makan. Janitra sudah duduk di sana, sibuk dengan ponselnya. "Makan dulu, Kak." Anindita menyiapkan piring milik Janitra. "Mau pakai nasi?"

"Nggak usah, gue ambil sendiri." Janitra terlihat sensi. "Lo makan setelah gue, nggak sudi gue semeja sama lo."

"Ok, aku makan sama Bi Yuli aja nanti." Anindita setuju, dia akhirnya menuju ke dapur, sambil mengintip Janitra mencoba masakannya. Se-sendok capcai masuk ke bibir Janitra. Gadis itu terlihat mengernyitkan kening, tak lama dia menyendok sesuap lagi dengan lahap.

Bi Yuli tergopoh-gopoh membawakan gelas dan teko berisi air mineral. "Lahap banget, Kak, udah lama nggak liat Kakak makan lahap gini."

"Tumben nih capcainya enak, ditambahin apa Bi?"

Senyum tipis muncul di bibir Bi Yuli. "Enak ya, Kak? Bukan Bibi soalnya yang masak."

"Terus siapa? Mama? Mama kan masih tidur."

"Kak Anin."

Kontan saja Janitra terbatuk-batuk seolah ada sianida membakar tenggorokannya. Lalu dia meminum segelas air. Matanya membulat, dia memandang Bi Yuli geram.

"Kok bisa-bisanya nyuruh dia masak? Kalau saya diracun gimana? Bibi mau saya mati?"

"Ya ampun Kak, Bibi di samping Kak Anin, ngeliatin prosesnya ... nggak mungkin diracun."

Cita Cinta CarakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang